Senin, 08 Desember 2014

CERBUNG



Diam-Diam Suka
Perkenalkan namaku yasmin al-baidhowi org biasanya manggil gua yasmin,ini adalah sepengal ceritaku dgn seorang cowok yang bernama Azharrudhin haikal bahri.atau org lebih mengenal dia dengan sebutan bahri cerita ini bermula saat aku melihat pp(poto profil)milik seseorang, aku mulai tertarik denganya karna melihat mata yg sedih dan menerawan di tamabah wajahnya yg imut dan sejak itu pula aku mulai tertarik dengan senyuman dan wajah imutnya…mulanya aku hanya berani melihatnya dri jauh, sampai pada saat ada seorang preman yg ingin berbuat yg tidak senonoh dan saat itu pula sosok bahri hdir dan menghajar preman tsb,dan sjak itu pula kmu mulai dkat dan saat itu jga aku mengetahui klau bahri itu sudah punya pcar, awalnya sih ada rasa kesal,tpi aku mulai berfikir aku ngk mungkin bsa dkat bahkan jadi kekasihnya bahri,tpi pemikiran ku itu slah…
Langsung aja ke ceritanya
Bekicot….
Aku duduk dibawah payungan ini, bukan untuk mencari keteduhan. Bukan pula ingin merasakan kesejukan. Melainkan karna aku mengejar bayangmu. Telingaku berusaha mencari suaramu yang mengudara, mataku senantiasa berharap wujudmu akan hadir didepannya.
“Hei, Bahri, malam ini jadi ngumpul nggak??”
Deg!
“Jadi. Tempat biasa, kan??”
Ah, suara ini. Suara yang daritadi kunanti. Perlahan aku menoleh kearah suara itu berasal. Dan disana ada bahri yang tengah berbicara dengan temannya. Aku terus memandanginya, tentu saja secara diam-diam. Melihat wajah lembutnya, khayalan mengambil alih akalku. Seandainya bahri menyapaku. Seandainya bahri mengajakku berbicara. Seandainya senyum bahri itu untukku. Ya, seandainya.
Hah, dalam pikiranku begitu banyak “seandainya”. Semua tentang bahri adalah “seandainya”. Jangankan menyapaku, mengenalku pun bahri tak pernah. Aku terus memandangi bahri sambil bertopang dagu, lalu menghela nafas. Aku mencintainya, tapi dia bahkan tak tahu aku. Lucu.
Setelah bahri hilang dari pandanganku, barulah aku beranjak dari payungan ditaman sekolahku ini. Setiap hari duduk berlama-lama dipayungan hanya untuk melihat sosok Kou, itu sudah cukup untukku. Aku tak berani berharap lebih. Lagipula, dia…
“yas!” Seseorang tiba-tiba menepuk bahuku. Seketika lamunanku buyar.
Aku menoleh, “Oh, hai, nit”
“Daritadi kemana aja, sih??” nita, sahabatku, mensejajari langkahku.
“Cuma dipayungan, kok”
“Kok aku nggak lihat?”
Minus-mu makin parah, kali…” Candaku.
“Iiiih… Rese’ ah. Mentang-mentang aku mata empat!” nita manyun.
Detik berikutnya, tawa kami berderai. Sambil asyik mengobrol, kami terus melangkah menyusuri koridor menuju kekelas kami.
@@@
Taman, jam 17 : 50….
Kunikmati angin dingin yang membuaiku sore itu. Aku duduk sendirian disalah satu bangku taman yang langsung menghadap kearah matahari terbenam. Sinar lembutnya yang menerpaku, sedikit menenangkan hatiku yang terus- menerus menyimpan perasaan suka sebesar ini tanpa mampu mengungkapkannya. Sesak.
“Ahahahaha….” Aku tertawa pelan sambil mengayun-ngayunkan kakiku.
“Hehehe… Haah….” Helaan nafasku terasa berat, “Sakit, ya….” Gumamku.
Kupandangi kembali mentari senja yang menciptakan semburat oranye disekelilingnya. Indah sekali. Seandainya kisahku pun seindah itu.
Ah, lagi-lagi aku berandai…!
Senyum getir ku ukir. Senyum yang memalukan. Menyedihkan. Aku jadi bertanya-tanya, bisakah suatu saat aku mengungkapkannya? Akankah suatu hari nanti, senyum manis pada wajah babyface itu jadi milikku??
“Hehe… Mungkin saja…” Aku bergumam sendiri, berusaha meng-optimiskan diri.
Cukup lama aku duduk disini dan setelah menghela nafas, untuk yang kesekian kalinya, akupun bangkit dari dudukku dan beranjak dari bangku. Kulangkahkan kakiku menapaki jalan setapak taman. Tak seberapa jauh dari bangku tadi, mataku menangkap sesosok pria yang kukenal. Begitu aku memfokuskan indra penglihatanku padanya, aku sedikit terkejut. Itu bahri!
Segera aku sembunyi dibalik semak didekatku dan mulai mengawasi bahri.
Aku udah jadi kayak stalker aja… Aku tertawa lirih.
Kulihat bahri sedang memejamkan mata dengan headset ditelinganya. Pasti dia tengah mendengarkan musik. Kuamati terus bahri yang asyik menikmati dunianya.
Ah, wajahnya benar-benar lucu…. Aku terhanyut. Tenggelam dalam pesonanya yang begitu manis. Aarrgh.. Aku tidak tahan ingin mencubit pipinya yang tembem itu. Teriak bathinku, gemas. Walau hanya sekedar memandangi, aku tak ingin waktu seperti ini berlalu begitu saja.
“Waaa!” Khayalku seketika lenyap dan aku refleks membalik badanku saat kurasakan sesuatu menyentuh pantatku.
“Kurang ajar! Mau apa kalian?!” Hardikku pada dua orang tinggi besar bertampang mengerikan didepanku.
“Elu sendiri ngapain disini?” Salah satu dari mereka menyeringai, tampang brewoknya membuatnya makin tampak mengerikan, “Ini udah hampir malam, tapi cewek secantik elu masih keluyuran diluar”
“Itu urusanku! Permisi!” Baru saja aku hendak berjalan meninggalkan mereka, laki-laki yang satunya lagi menarik tanganku dan menghempaskanku ketanah.
“Apa-apaan ini?!” Aku marah walau rasa takut mulai merasuki benakku.
“Elu bakal nemenin kita malam ini. Lagipula jam segini, taman ini sepi. Nggak akan ada yang nolongin elu, jadi terima aja” Ucap pria yang menghempaskanku tadi.
Mereka mulai mendekatiku. Aku berusaha menjauh tapi teman laki-laki yang bertampang brewok itu keburu mencengkram kedua pergelangan tanganku.
“Lepasin!!” Bentakku. Tapi dia malah tersenyum sinis.
Aku masih berusaha berontak. Airmataku menggenang, aku sangat takut tapi suaraku sedikit pun tak mau keluar. Si laki-laki brewok berjongkok disampingku dan bukan main terkejutnya aku saat tangan pria brengsek itu turun hendak menyingkap bajuku. Akibat ketakutan yang teramat sangat, aku hanya bisa menangis tanpa bisa berteriak sepatah pun.
Ya Tuhan…. Tolong aku….
BUAK!!!
“Agh!”
Setelah itu, aku mendengar suara seseorang jatuh ketanah. Perlahan aku mengangkat wajahku dan membuka mataku. Aku terpana. Didepanku, kulihat bahri tengah menghajar teman si brewok, sedangkan si brewok sendiri terduduk ditanah dengan darah disudut bibirnya. Dengan geram dia bangkit dan langsung melayangkan tinjunya kearah bahri. Tapi dengan sempurna, bahri menghindarinya dengan mudah dan langsung mendaratkan kepalan tangannya ke ulu hati pria itu.
“Kurang ajar!” Si brewok sedikit terhuyung, “Brengsek! Lu lihat aja nanti, pasti gua bales!” Setelah berkata seperti itu, si brewok segera memapah temannya yang tersungkur dan pergi menjauh.
bahri hanya memandangi mereka. Sedang aku, memandangi wajah bahri yang sedikit berkeringat. Dadanya naik turun mengatur nafas. Beberapa detik berikutnya, bahri berbalik memandangku. Keteduhannya membuatku tak sanggup untuk beralih. Perlahan, bahri menghampiriku dan jongkok tepat didepanku.
“Kamu nggak apa-apa?” Hanya kalimat itu yang terucap dari bibirnya.
Aku terdiam. Entah karna tatapannya itu atau karna suara lembutnya. Tapi, begitu tersadar, ketakutan tadi kembali menyeruak.
“Hiks…” Airmataku mulai menetes lagi.
“Hei…” bahri terdengar sedikit panik.
Tak tahu apa yang merasukiku, tanpa pikir panjang aku langsung memeluk bahri dan mulai terisak. Pikiranku kosong, yang kutahu hanyalah aku sekarang ketakutan dan ingin dipeluk. Selang beberapa saat, kurasakan bahri membalas pelukanku dan mengusap lembut punggungku.
Ah, hangat….
@@@
Jam 19 : 10….
“Udah lebih tenang??” Tanya bahri sambil menyodorkan sebotol air mineral.
“Ah, iya…” Aku menyambutnya dan meneguknya sedikit.
Ah… Lega….
Saat itu kami tengah duduk dibangku yang diduduki bahri tadi. Jujur saja, aku benar-benar gugup sekarang. Duduk berduaan seperti ini benar-benar diluar dugaanku, apalagi kalau ingat tadi aku memeluknya. Ya ampun, mukaku langsung panas.
“Ehm, makasih ya, tadi udah nolongin…” Kataku, pelan. Aku tak berani mengangkat wajahku.
“Bukan apa-apa, kok” bahri hanya menjawab pendek.
Meski deg-degan, kuangkat wajahku mencoba menatapnya. Pada saat yang bersamaan, bahri juga sedang menoleh kearahku. Aku terpaku. Apalagi saat melihat senyumnya yang biasanya hanya bisa kulihat dari jauh itu.
Ya Tuhan, dia bisa membunuh seseorang dengan senyumnya! Sahutku dalam hati sambil mengalihkan pandanganku. Berusaha menenangkan debaran didadaku ini.
“Oya, aku bahri. Kamu?” bahri menyodorkan tangannya sambil tersenyum.
Kusambut tangan itu dengan agak malu-malu, “yasmin” Jawabku sambil berusaha tersenyum.
“yasmin, ya. Namamu bagus” bahri masih tersenyum.
Ah, betapa aku menginginkan senyum itu hanya untukku. Tapi, aku bersyukur. Sekarang bahri sudah mengenalku. Apa ini sebuah pertanda sesuatu? Aku terus memandangi bahri yang asyik mengajakku ngobrol, sepertinya dia tak menyadari tatapanku. Aku tersenyum tipis.
Apakah bisa, suatu saat aku…
Lagu Love to be Loved by You-nya Marc Terenzi menyentakku dari lamunan. Ini lagu darimana?
Kulihat bahri mengambil handphone-nya dari saku. Oh, bunyi hp-nya, toh. Sekilas aku mendengar percakapannya dengan orang yang menelepon itu. Kayaknya dari orang penting, soalnya bahri bicaranya hati-hati.
“Iya, iya. Bawel. Bye juga, say” Sahut bahri mengakhiri hubungan telepon.
Say?
Sorry, ya. Pacar nelpon” Katanya kemudian.
Deg!
“Nggak apa, kok” Kupaksakan agar bibir ini bisa tersenyum.
“Kalau udah baikan, biar aku anter kamu pulang” bahri bangkit dari duduknya lalu menyampirkan tas ranselnya dibahu.
“Makasih, tapi aku bisa pulang sendiri, kok.”
“Entar takutnya kenapa-kenapa dijalan. Nggak usah cerewet, kamu nurut aja” Dia menarik tanganku, memaksaku berdiri.
“Tapi…”
“Diem!”
Aku pun akhirnya menyerah dan hanya mengikuti langkahnya yang menarikku. Dengan sedih, kutatap punggung bahri. Aku kecewa . Karna diri sendiri.
Kenapa aku bisa lupa kalau dia udah punya pacar?
Ternyata, aku terlalu berharap. Dia mengenalku, bukan berarti aku bisa mendapatkannya. Senyum menyedihkan kembali tercipta bersama setetes bening embun yang langsung kuseka. Kenapa aku begini? Bukannya bisa kutekan, rasa ini malah semakin bertumpuk kala kurasa hangat genggamannya menjalariku.
Seandainya aku tak pernah mengenalnya. Seandainya aku tak nekat mengejarnya. Ah, selalu saja “seandainya”. Kesal.
Aku terlalu menginginkanmu, bahri….
Sekolah, jam 07 : 09….
Gila! Semalaman aku nggak bisa tidur. Kejadian kemaren itu mimpi atau nyata, ya? Aduh, akal sehatku udah konslet. Aku mesti gimana kalau ketemu dia nanti?
“Eh, Ra! Pagi-pagi udah ngelamun, aja” Tegur nita. Aku lupa kalau daritadi aku bersamanya.
“Maaf…” Aku nyengir kuda.
“Ngelamunin apa, sih? Asyik banget kayaknya” nita memasang tampang penasaran.
Aku memandangi nita, “Ngelamunin kamu, nit. Habis, aku selama ini fallin love ma kamu” Jawabku, nggak pake mikir.
Nita melotot, “Iiich, jijay gue. Jauh-jauh, gih sono!” Seru Nita sok ngusir dengan tampang sok geli.
“Ahahahaha…. Sini biar kucium” Aku merentangkan tanganku berusaha memeluknya.
“Sadar,Yasmin! Tu muka udah mirip ikan lohan, monyong-monyong gitu” Tangan Nita mendorong pipiku berusaha menahan seranganku.
Aku menghentikan seranganku dan ngakak melihat Nita memasang wajah sebal. Tapi ekspresi itu tak bertahan lama, sampai akhirnya kami pun tertawa bersama. Kegundahanku untuk sekejap terlupakan.
Coba perasaanku bisa se-enteng ini tiap hari….
@@@
I can feel, I can feel you near me
Eventhough you’re far away
I can feel, I can feel you baby
Why
It’s not supposed to feel this way
I need you, I need you
more and more each day
It’s not supposed to hurt this way
I need you, I need you, I need you
Tell me, are you and me still together?
Tell me, do you think we could last forever?
Tell me, why     (Avril Lavigne – Why)
“Yasmin kalau lagi main gitar keren, deh…” Nita menatapku sambil senyum-senyum.
“Kalau jadi cowok, pasti cakep…” Lanjutnya, nyengir.
“Yee… Ada-ada aja elu” Aku meninju lembut lengannya.
Siang itu, kami masih berada dipayungan sekolah, meskipun bel pulang sudah berbunyi setengah jam yang lalu, sambil menikmati dua botol cola dingin. Aku juga asyik memetik gitar yang tadi kupinjam dari ruang musik.
“Eh, min, nyanyi lagi, donk” Nita memasang wajah memelas.
“Ogah, ah. Kering ni tenggorokan, daritadi kamu suruh nyanyi terus” Aku mengambil cola-ku yang tinggal setengah dan langsung menghabiskannya.
“Sapa suruh punya suara bagus”
“Kalau beneran mau, traktir donk!”
“Kamu kira aku punya banyak duit, apa?!”
Aku hanya tertawa. Kemudian, aku bangun dari dudukku.
“Eh, nit, mau ikut keruang musik nggak??”
“Kenapa emang?”
“Nggak… Bosen aja disini, apalagi mulai panas, nih” Jawabku sambil menjepit rambut panjangku yang ikal untuk sedikit mengurangi rasa gerah.
“Nggak, deh. Aku mau pulang, aja. Capek, mau istirahat”
“Oh, ya udah. Kutinggal, ya…. Dah…”
“Yup!”
Dan aku pun beranjak sambil menyenteng tas berisi gitar. Begitu sampai didepan ruang musik, aku menghentikan langkahku. Dari balik pintu, aku bisa mendengar alunan merdu musik dari piano. Aku pun merapat dan memfokuskan telingaku pada suara itu.
Aku nggak pernah dengar lagu ini….
Aku semakin merapatkan tubuhku kepintu.
Musik yang indah….
Entah mengapa, hatiku berdebar mendengar lagu ini. Alunannya menenangkan walaupun terdengar sedih. Karna terbuai dalam setiap melodinya, aku semakin merapat dan…
Kriieett….
“Waa…!” Pekikku. Hampir saja aku terjerembab akibat pintu yang tiba-tiba terbuka itu.
Alunan musik indah tadi seketika berhenti. Aku agak terkejut, melihat siapa yang sedang duduk dibalik piano hitam diruang musik.
“bahri?” Setelah beberapa detik terpana, hanya kata itu yang keluar dari mulutku.
bahri juga sepertinya sempat terkejut melihatku yang tiba-tiba masuk. Tapi kemudian dia tersenyum. Manis. Rambutnya yang agak panjang dan sedikit berantakan itu benar-benar serasi dengan wajah babyface-nya.
“Ma, maaf… Kalau aku mengganggumu. Aku cuma mau balikin gitar ini, kok” Sahutku, agak gugup.
“yasmin nggak ganggu, kok” bahri masih tersenyum.
Aku pun bergegas menaruh gitar disudut ruangan dan segera berbalik kearah pintu. Tapi, baru satu langkah beranjak, langkahku terhenti lagi. Aku penasaran dengan lagu tadi. Setelah mengumpulkan keberanian, aku pun membalikkan badan.
“Ehm…. bahri!” Tegurku. Kemudian, perlahan aku menghampirinya.
“Em?” bahri mengalihkan tatapannya dari tuts piano dan menatapku dengan matanya yang indah.
“Eee… Lagu tadi, aku nggak pernah dengar. Tapi, lagunya bener-bener indah. Lembut dan menenangkan tapi terdengar sedih” Ucapku agak lirih dan malu-malu.
“Menurutmu lagu itu bagus??” Tanya bahri dengan tampang seolah tak percaya.
“Iya. Bagus banget, malah”
bahri terdiam. Anehnya, dia tampak tersipu. Bisa kulihat sedikit rona merah dipipinya. Agak kaget juga, sih. Karna aku tak pernah melihat bahri seperti ini. Setiap harinya, bahri selalu terlihat cool.
“Kamu kenapa?” Aku sedikit melongo ingin melihat raut wajahnya yang baru sekali ini kulihat itu.
“Ah, itu… Lagu itu tadi… Itu lagu buatanku” Jawabnya masih dengan wajah tersipu.
“Serius?!” Aku membelalak takjub.
bahri hanya mengangguk, “Baru selesai tadi, sih…” Sahutnya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
“Hebat! Ternyata bahri yang selalu tampil cool, bisa bikin lagu sebagus itu!” Kegugupanku perlahan berkurang meski dadaku masih berdebar.
“Selalu? Memangnya kamu selalu merhatiin aku, ya??” bahri menaikkan sebelah alisnya.
“Ah! Itu… Emm… Nggak, kok! Aku tahu, karna banyak yang bilang kalau bahri itu cool” Jawabku, berbohong.
“Oooh…”
Fuh, untung saja. Jangan sampai dia tahu kalau aku memang selalu memperhatikannya.
“Oh ya, bahri… Judul lagu tadi apa?” Aku berusaha tersenyum.
bahri tak langsung menjawab, tapi dia malah menatapku dengan tatapan yang tak kutahu apa artinya. Suasana yang hangat tadi seketika berubah sunyi. Aku jadi merasa tak nyaman dan merasa bersalah.
Apa aku ada salah ngomong, ya?
Tapi, detik berikutnya, bahri tersenyum lembut. Namun entah kenapa, aku merasa ada yang salah. Mata teduhnya, menyiratkan duka.
Kenapa?
“Judulnya… ‘Love Song’”
@@@
Love… Song… Love… Song….
                Kata-kata itu terus terngiang dibenakku. Memenuhi setiap sudut pikiranku. Kalimat ‘Love Song’ itu benar-benar membuatku resah.
“Aaaaahhhh….!” Seruku pelan sambil berguling-guling dikasurku. Putus asa.
“’Love Song’… Lagu cinta buatan bahri….” Gumamku pada diri sendiri, “Kira-kira, lagu itu untuk siapa, ya….??”
Kira-kira lagu itu buat siapa yaaa…?
Mau tau lanjutannya….?
Yang sbar ya…tunggu aja bsok bkalan d lanjutin….:)
Ya, aku resah karna aku penasaran, bahri membuat lagu itu untuk siapa. Dan apa makna dari lagu itu. Kenapa lagu cinta itu terdengar sedih. Bukankah bahri punya pacar? Apa dia sedang ada masalah? Apa mereka akan putus?
Ah! Aku mikir apa sih?? Aku sedikit tersentak dengan pikiranku sendiri.
Kejam sekali aku. Sebagai sesama wanita, tentu aku tak ingin pacar bahri jadi sakit hati. Tapi, sebagai wanita yang mencintainya, tak kupungkiri bahwa aku memang berharap hubungan mereka berakhir.
Bodoh! Walaupun bahri putus dengan pacarnya, memangnya kau pikir bahri akan langsung jadi milikmu?? bahri saja baru mengenalmu kemarin! Bathinku, memaki diri.
Aku bangkit dari posisi berbaring sambil memeluk Boneka, teddy bear kesayanganku. Entah kenapa, dadaku jadi sesak. Tanpa bisa kutahan, airmataku menggenang. Aku menenggelamkan wajahku kepelukan Boneka teddyku saat telaga duka itu tumpah.
“Kenapa malah nangis, sih….” Lirihku dalam isak tertahan.
Aku mengangkat wajahku. Menyeka setiap bulir yang jatuh. Mataku tertuju pada frame foto diatas meja belajarku. Dengan pandangan agak buram karna airmata yang masih menggenang, kuperhatikan foto bahri yang sedang tersenyum itu. Foto yang diam-diam ku-download dari Facebook-nya.
Benar juga, aku mengenal bahri awalnya memang dari Facebook. Saat itu aku masih SMP kelas 3. PP(photo profile)-nya waktu itu benar-benar menarik perhatianku. Kala itu, wajah babyface Kou menyiratkan kesedihan yang dalam. Aku bisa merasakan itu dari tatapan matanya yang menerawang.
Hanya karna wajah sedih itu dan karna terpesona dengan senyum manisnya yang kulihat di albumnya, aku nekat mengejar bahri yang waktu itu sudah berstatus “berpacaran”. Entah sejak kapan, aku jadi menginginkan senyumannya itu. Menginginkan setiap jengkal siluet sempurna itu hanya untukku. Aku menghela nafas. Berusaha memberi ruang untuk melepas sesak didadaku.
“Hei, bahri…” Sahutku, berbisik, “Bolehkah aku berharap… Kalau lagu itu kau buat untukku??”
@@@@@@@
Lagi-lagi aku tak bisa tidur. Semalaman aku terus memikirkan maksud dari ‘Love Song’ itu. Haah… Mana mungkin, kan, hal itu langsung kutanyakan pada bahri. Aku terus berjalan menyusuri koridor tanpa semangat sedikit pun meski ini masih pagi. Ahhh!
“Pagi, yasmin!” Seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh. Kaget.
“Pa… pagi…” Aku langsung menunduk karna takut bahri, yang tadi menyapaku, melihat wajahku yang bersemu ini.
“Kamu kenapa? Pagi-pagi, udah kelihatan nggak semangat gitu…” bahri berjalan mensejajari langkahku.
Senangnya… bahri memperhatikanku.
“Ehm, aku nggak apa-apa, kok”
“Tadi pagi nggak sarapan, ya??” bahri menunduk dan wajahnya tepat berada didepan wajahku. Langkahku refleks terhenti.
“E, eh?” Mataku tak bisa berkedip dipandang dari dekat seperti ini. Bahkan aku tak bisa bergerak untuk membuang muka. Semoga pipiku tidak merah.
“Hmm, mukamu pucat. Kamu pasti nggak sarapan” bahri membuat kesimpulan sendiri dan kembali berdiri tegak.
Syukurlah…..
“Ayo, kekantin!” Tiba-tiba saja, bahri menarik tanganku. Hampir saja aku terjatuh.
Segera aku mengimbangi langkahnya, “Aku bener-bener nggak apa-apa, bahri…..
“Udah, kamu nurut aja…” Jawab bahri tanpa menoleh.
Ternyata bahri adalah orang yang suka memaksa dan seenaknya. Tapi, meski begitu, aku justru merasa senang. Tentu saja karna bahri memperhatikanku. Padahal dia baru beberapa hari mengenalku.
bahri benar-benar baik…. Aku jadi tersenyum sendiri.
Sesampainya dikantin, bahri menyuruhku untuk duduk dan menunggu. Ya, aku menurut saja. Tak lama, dia datang membawa dua buah roti bakar dan dua buah susu kotak rasa stroberi.
“Nih, dihabisin ya….” Dia menyodorkan salah satu roti kearahku.
Aku menyambutnya, “Terima kasih…”
Melihat bahri yang santai-santai saja, aku pun tanpa sungkan mulai memakan roti ditanganku. Enak. Sesekali kuperhatikan bahri yang sedang asyik dengan rotinya. Aduuuh… Kenapa wajahnya harus semanis itu kalau sedang makan. Ah, bahri benar-benar lucu.
“bahri!” Tiba-tiba, terdengar suara wanita memanggilnya dari belakang. Wanita itu menghampiri kami.
bahri menoleh, “Oh, hai, angel… Ada apa?”
angel, dia adalah pacar bahri. Siswi kelas 3 yang centilnya minta ampun. Entah apa yang membuat bahri mau menjadikannya pacar. Memang kuakui, angel lebih cantik dariku. Dia juga menarik dan percaya diri. Sedangkan aku, aku cuma gadis biasa yang hanya karna melihat bahri tersenyum saja sudah malu-malu.
“Ngapain sih disini?? Daritadi kutungguin dipayungan, nggak dateng-dateng” Sahut angel dengan nada manja.
“Maaf, maaf…. Tadi aku barengan ma dia dikoridor. Dia belum sarapan makanya kuajak sarapan dulu”
“Cewek dekil kayak gini nggak usah dikasih perhatian. Entar ngelunjak” angel menatapku sinis, “Yuk, kepayungan!”
“Iya, iya…Yasmin. Aku tinggal ya, … Maaf… “ Dari eksperinya, bahri tampak tak enak denganku karna kata-kata angel tadi.
“Nggak apa, kok” Aku berusaha tersenyum. Dan bahri pun beranjak dengan tangan yang digelayuti manja oleh angel.
Uh! Aku mencengkeram ujung meja kantin. Rasanya aku pengen banget ngelempar meja ini kewajah brengseknya itu!! Tapi, kuurungkan niatku karna takut bakal disuruh ganti rugi. Aku pun langsung ngeloyor pergi dari kantin.
Dengan sebal kususuri koridor ini untuk menuju kekelasku. angel benar-benar menyebalkan! Dia pasti sengaja bermanja-manja seperti itu.
Huh! Pagi-pagi udah sakit hati!
Tiba-tiba, aku tersadar akan sesuatu.
Untuk apa kau sakit hati??? Kau kan bukan pacar bahri….. Lagipula bahri juga takkan peduli sesakit apapun hatimu. Kau bukan siapa-siapa bahri.
Tapi tadi dia perhatian padaku!!
bahri kan baik, tentu dia perhatian pada siapa saja!
Salah! bahri memang memperhatikanku….
Ge er! Buktinya, begitu angel datang dia langsung meninggalkanmu!
Aku bertengkar dengan diriku sendiri. Kepalaku jadi pusing. Hah, apa salah kalau aku berharap bahri memang memperhatikanku? Aku cuma sebatas  berharap. Setidaknya, itu kebahagiaan kecilku. Sudah dikenal olehnya saja, sudah membuatku senang setengah mati.
Seandainya aku seperti cewek lain… Yang bisa percaya diri mendekati bahri dan menyatakan perasaan mereka walaupun tahu akan ditolak… Hmmh… Jadi ngerasa nggak punya harapan lagi…..
@@@
Istirahat pertama, jam 09 : 45….
Aku sedang malas kekantin. Pikiran dan hatiku sedang kacau. Dan parahnya, nita ada rapat OSIS yang membuatnya tidak bisa menemaniku. Dan satu-satunya alternatif untuk menenangkanku saat ini adalah….. bermain musik!
Aku berlari kecil menuju ruang musik yang tak begitu jauh dari kelasku dilantai dua. Aku ingin cepat-cepat memetik gitar dan bersenandung. Untung saja, guru Kimia yang akan mengajar setelah istirahat sedang cuti, jadi aku bisa berlama-lama diruang musik.
Begitu masuk keruang musik, aku langsung mengeluarkan gitar dari kotaknya dan mengambil tempat duduk didekat jendela disamping piano. Melihat piano itu, aku jadi teringat dengan lagu ciptaan bahri. Rasanya ingin sekali mendengar lagu itu lagi.
Iseng aku mencari-cari partitur ‘Love Song’ diantara lembaran-lembaran partitur diatas piano. Ah! Ini dia! Kutaruh partitur bertuliskan ‘Love Song’ dengan kalimat ‘Cipt. Azharrudin Haikal Bahri’ dibawahnya itu di lembaran paling depan dan menaruhnya kembali keatas piano. Aku mulai memetik-metik gitarku, mencari nadanya. Setelah cukup lama berkutat dengan notasi musik itu, aku pun berhasil mendapatkan semua kunci nada dari not-not balok tersebut.
Setelah menarik nafas dalam-dalam, jari-jariku pun mulai memetik setiap senar gitar ini. Menciptakan sebuah musik lembut namun menyedihkan yang menyatu apik dengan senandungku. Beberapa menit kemudian, lagu itu pun selesai. Tanganku gemetar dan ada sesuatu yang bergejolak liar didadaku. ‘Love Song’ ini, masih sama dengan aura musik permainan bahri waktu itu. Menenangkan namun sendu.
Prok, prok, prok!
Refleks aku membalikkan badanku dan aku sangat kaget melihat bahri tersenyum memandangku sambil bertepuk tangan.
“Kamu hebat! Permainanmu benar-benar bagus!” Pujinya. Senyumnya masih terkembang.
“Ah, terima kasih… Dan maaf… Aku membaca partiturmu seenaknya…” Lagi-lagi aku menunduk, menyembunyikan rona merah dipipiku.
“Ah, nggak apa… Aku nggak nyangka, laguku bisa dimainkan sebagus itu dengan gitar” bahri berjalan kearahku dan menduduki kursi dibalik piano, “Kamu pintar, lho… Membaca not balok dan ngebikin jadi kordgitar kan susah”
“Soalnya, aku udah belajar gitar dari kecil… Sebagian besar keluargaku juga hobi musik….” Sahutku, tersenyum.
Aku sangat senang karna bahri memujiku. Ya ampun…. Mukaku panas. Tiba-tiba, aku teringat sesuatu.
“Oh, iya, bahri…. Ada satu hal yang membuatku bingung. Aku mencoba sedikit mengaransemen nadanya, tapi lagu itu tetap aja membuat pendengarnya merasa sedih… Aku bahkan sampai gemetar….”
Menanggapi ucapanku itu, bahri hanya tersenyum lembut, “Diaransemen seperti apa pun dan dimainkan oleh siapa pun, perasaan penciptanya tetap akan dirasakan oleh pendengar. Karna lagu ini….” bahri menatap mataku dalam dengan tatapan yang tak kumengerti, menggantung kata-katanya.
Kenapa lagi-lagi mata itu terlihat berduka??
Terbuat dari hati yang sedang putus asa………”
@@@
Untuk kesekian kalinya, bahri kembali membuatku penasaran! Aku baru sadar, setiap kali membicarakan makna dari lagunya itu, selalu tercipta telaga kesedihan dimatanya yang teduh. Aku tak mengerti. Kesedihan itu tertangkap olehku, tapi sedikit pun aku benar-benar tak tahu apa maksudnya. Karna menurutku, kenapa  bisabahri tak bahagia?
Latar belakangnya yang adalah salah satu putra dari seorang pemegang perusahaan terkenal di jakarta, membuatnya bebas melakukan apa saja. Bahkan, bebas memilih wanita mana pun yang disukainya. bahri juga memiliki paras yang tampan dan tubuh yang mengagumkan. Bukankah itu, harapan semua cowok?
Jadi apa yang membuatnya tak bahagia??
“Eh, yasmin! Ngelamun, aja… Yuk, pulang!” Suara nita mengagetkanku dan membuatku sadar bahwa kelas sudah lengang. Hanya ada beberapa siswa yang masih sibuk membereskan isi tas mereka.
“Ah, iya….” Aku segera memasukkan buku-buku dan peralatan tulisku kedalam tas dan mengiringi langkah nita yang keluar kelas lebih dulu.
Namun, seketika pikiranku kembali menerawang. Mata sedih itu kembali membayang dibenakku. Memenuhi setiap sudut akalku.
Aku benar-benar tidak mengerti…..
bahri…. Sebenarnya, apa yang membuatmu tak bahagia???
@@@@@@@
Di minggu pagi yang cerah ini, aku sudah asyik melamun dibalkon kamarku. Haah…. Meski aku memandangi jalan didepan rumahku yang daritadi ramai dengan orang-orang yang sedang jogging, pikiranku tertuju kearah lain. Ya, ke siapa lagi kalau bukan sosok bahri. Selain masih penasaran dengan ‘Love Song’, aku juga berpikir tentang keadaanku sekarang.
Aku bingung. Apa aku akan terus-terusan memendam perasaanku? Padahal setiap harinya, setiap melihat senyumnya, rasa ini menjadi semakin menyesakkan. Sampai kapan aku bisa tahan? Bohong, kalau aku bilang aku nggak ingin bilang suka ke bahri, tapi aku masih ragu. Aku takut dengan harapanku sendiri. Padahal aku tahu, bahri sudah punya pacar. Tapi aku tetap saja sangat sangat menginginkannya. Aku benar-benar berharap dia jadi milikku.
Aduuuhh… Malah jadi ribet… Pusing, nih…!!!  Bathinku sambil mengacak-acak rambutku saking sebalnya.
“Yasmin!”
Tanganku refleks berhenti. Aku melongo mencari asal suara itu. Dan aku jadi panik beresin rambut pas tahu suara itu berasal dari bahri yang sedang berdiri tepat didepan pagar rumahku.
“Pagi!” Sapanya dengan senyum khasnya.
Dia tahu rumahku darimana????
“Yasmin, mau nemenin aku jogging nggak???” Serunya, lagi.
“Hah?” Aku berlagak budeg. Aku agak-agak nggak percaya dengan apa yang kudengar barusan.
“Mau nemenin aku jogging, nggak??” Ulangnya.
Aku berpikir sesaat. Celingak-celinguk melihat jalanan dengan harapan tak ada Angel disana.
“Ya, udah…. Tunggu bentar, ya….” Aku masuk kedalam kamarku.
Lima menit kemudian, aku sudah ada diluar dan segera menghampiri bahri. Kurasa bahri nggak sadar, kalau tubuhnya yang dibungkus kaos olahraga ketat itu membuatku panas dingin. Ah, badannya benar-benar bagus.
“Eh, yasmin! Jangan ngelamun dong!” bahri menjentikkan jarinya tepat didepan wajahku, membuatku tersadar dari kekagumanku.
“Ma, maaf…”
Dan kami pun mulai berlari santai. Matahari pagi masih bersinar lembut. Masih nyaman untuk dibuat jogging.
“Eh, bahri… Kamu tahu rumahku darimana?” Tanyaku memulai obrolan.
“Tadi cuma kebetulan lewat, kok. Rumahku kan diblok sebelah. Tiap minggu pagi aku pasti lewat sini…. Nggak nyangka ternyata rumahmu disitu…” bahri tertawa kecil.
Yah…. Kirain emang sengaja mampir…. Aku langsung kecewa tapi berusaha kusembunyikan.
By the way, kenapa nggak bareng Kak angel, aja?”
“Rumah angel kan bukan daerah sini. Lagipula, angel mana mau diajak olahraga, apalagi lari. Kamu kan suka lari, jadi sekalian aja kuajak. Dan lagi, tadi keliatannya kamu lagi suntuk banget…” Jelasnya.
“Oooooohh….”
Tunggu! Tahu darimana bahri, kalau aku suka lari???
“Kamu tahu darimana, aku suka lari??” Aku menatapnya dengan pandangan menyelidik.
Tak kusangka, gelagat bahri langsung berubah, “Oh, ah, emm… Itu…. Oh, iya, kamu kan ikut ekskul atletik! Ya, kamu ikut atletik. Makanya aku tahu…” Dan bahri langsung mempercepat larinya mendahuluiku.
Aku menatapnya dengan curiga dan heran. Nah, lho, tahu darimana lagi dia kalau aku ikut atletik? bahri kan ikut karate. Aku masih terus berlari kecil, membiarkan bahri didepanku. Aku masih heran dengan dia yang kayaknya udah tahu semua tentangku. Atau, jangan-jangan… Selama ini dia diam-diam memperhatikanku…
Aku tersentak, kaget sendiri dengan pikiranku.
Nggak mungkin, ah…. Masa sih….. Aku malah jadi malu-malu sendiri.
Siapa tahu!
Ah, nggak, ah…..
Wajahku semakin panas, gara-gara dialog bathinku sendiri. Aku aneh, ih… Ngomong kok sama diri sendiri. Bibirku mengukir senyum.
Bagus, kalau seandainya dia emang merhatiin aku…. Hehe….
“Eh, yasmin, duduk ditaman, yuk!” Aku tak sadar kalau bahri ternyata sudah berada disampingku lagi. Sikapnya kembali seperti semula, seolah tak terjadi apa-apa. Padahal tadi dia kelihatan kikuk banget.
“Boleh” Aku mengikuti langkahnya yang menuju kesebuah bangku taman dibawah pohon yang lumayan rindang.
Ahh… Sejuknya…
Setelah duduk beberapa saat, kuperhatikan bahri yang sedang melap keringatnya dengan handuk kecil yang tadi dikalungkan dilehernya. bahri keren….
“Kenapa, yasmin?” bahri sadar kalau dia sedang diperhatikan.
“Ah, nggak….” Aduh, nggak bisa ngaku kalau emang sengaja ngeliatin.
Setelah itu, cukup lama kami terdiam. Taman tempat kami istirahat, lumayan sepi. Aku jadi deg-degan kalau keadaannya kayak gini. Apalagi, dengan adanya bahri yang duduk tepat disampingku. Jadi makin grogi.
“Yasmin… Kamu pernah jatuh cinta, nggak??” Suara bahri terdengar lirih.
Kenapa dia tiba-tiba nanya itu??
“Tentu aja, pernah. bahri sendiri?” Jawabku sekenanya. Padahal pengen banget bilang kalau dialah yang membuatku jatuh cinta.
bahri hanya mengangkat bahu kemudian tersenyum tipis, “Hehe… Entahlah…”
“Eh?” Refleks aku memandanginya.
“Kenapa, lagi?” Dia menoleh. Untuk sesaat, pandangan kami bertemu.
“Emm… Nggak apa-apa….”
Aku jadi semakin heran, kalau bahri nggak pernah jatuh cinta, terus dia pacaran sama angel karna apa?? bahri nggak kelihatan kayak cowok yang suka main-main. Menurut gossip sih, si angel yang nembak. Tapi kalau nggak ada rasa, kenapa bahri mau nerima???
“Emm, bahri…. Maaf sebelumnya, ya. Kalau bahri nggak pernah jatuh cinta, kenapa kamu pacaran sama Kak angel?” Aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Hmmm… Waktu itu, dia yang nembak, sih. Pake pasang tampang mewek, segala. Aku jadi nggak tega. Aku nggak pernah bisa tahan kalau ngelihat cewek nangis….” Ucapnya sambil tersenyum lembut.
Hatinya benar-benar  lembut, ya…..
“Tapi, kalau nggak ada rasa, bukannya itu malah bikin sakit kalau ketahuan. Yang namanya pacaran kan harus atas dasar suka sama suka” Sahutku, pelan.
“Hehe… Iya, juga ya… Kan nggak enak tuh maksain perasaan ke hal yang nggak disukai. Tapi aku nggak benci angel, walaupun dia banyak maunya, sih. Aku berusaha untuk sayang ma dia, kok…” Aneh. bahri menanggapi dengan wajah yang sedih.
“Tapi, aku ngerasa angel juga nggak beneran suka ma aku….” Lanjutnya, lirih.
Aku hanya menatapnya lagi. Aku nggak terlalu mendengar apa yang barusan diucapkannya jadi aku hanya bisa diam untuk menanggapi.
Suasananya tiba-tiba jadi sunyi. Bukan karna taman ini emang lagi sepi. Tapi karna atmosfer diantara kami berubah. Ada sesuatu, yang aku tak tahu apa, dalam diri bahri yang dia sembunyikan dari orang-orang sekitarnya.
Sepertinya hidupnya nggak sebahagia yang aku kira….                       
@@@@@@@
Sekolah, istirahat pertama, jam 09 : 50….
Aduuh, masih kepikiran yang kemaren. Makin lama kenal bahri, aku jadi makin penasaran. Ternyata, sosok bahri yang kulihat selama ini, cuma figure buatan. Setiap hari, bahri selalu terlihat ceria. Tapi nyatanya, keceriaan itu hanya untuk menutupi duka dihatinya. Tapi, aku masih nggak tahu, duka macam apa yang dia simpan?? Rasanya pengen banget meluk dia, tapi mustahil kan aku yang bukan siapa-siapanya ini berani melakukan hal seperti itu. Aku juga masih bingung tentang menyatakan perasaan atau nggak.
“yasmin!”
Aku asyik dengan lamunanku.
“yasmin!”
Aku masih asyik tanpa peduli dengan sekelilingku.
“yasmin!!!”
Plakk!
Akhirnya, aku tersadar saat kurasakan sakit menjalari pipiku.
“Apa-apaan sih kamu, nit….. Sakit, tahu….” Rengekku sambil mengelus-elus bekas tamparan nita.
“Habis kamu nyebelin, sih…. Daritadi, kupanggil-panggil nggak nyahut-nyahut. Kamu mikirin apa sih? Sampai aku dicuekin mulu!” nita pasang tampang sebal.
Akunya cuma nyengir kayak kuda, “Sorry deh….. Udah, jangan marah…..”
“Nggak mau, ah…!” Yah, ni anak malah ngambek.
“Kutraktir, deh…. Tapi udah marahnya, ya…” Aku berusaha membujuknya.
nita tampak sedang berpikir sambil menatap mangkok bakso-nya yang sudah benar-benar kosong.
“Oke, deh… Tapi tambah satu mangkok lagi, ya….”
Set dah, badan boleh kecil, tapi porsi makan kayak kuli bangunan! Aku hanya mengangguk pasrah. nita tampak senyum-senyum sendiri sambil berjalan menemui ibu kantin. Tak lama, dia kembali dengan semangkok bakso hasil kepasrahanku. Ah, duitku……
“Oya, min… Kamu sebenernya lagi mikirin apa, sih? Akhir-akhir ini, kamu sering ngelamun, lho…..” Tanya nita disela aksi suap-menyuapnya.
Aku diam. Kualihkan pandanganku kearah siswa-siswi yang lalu-lalang disekeliling kami. Menerawang.
“Kenapa nggak dijawab, min?”
“Hmmh… nit, boleh tanya sesuatu, nggak??” Aku balik memandangnya.
“Tanya apaan??” nita berhenti memasukkan makanan kemulutnya.
“Eemm… Kalau seandainya kamu suka ma seseorang, apa yang bakal kamu lakuin??” Nada bicaraku berubah serius.
“Ya, harus jujur ma orang itu, donk!” nita langsung menjawab tegas. Bola mataku membulat saking kagetnya.
“Tapi kalau orang itu udah punya pacar, gimana??”
“Tetep jujur. Nggak penting dia udah punya pacar atau belum. Nggak penting juga dia bakal nerima atau nggak. Yang penting adalah kita udah ngungkapin apa yang kita rasain” Sahut nita, bijaksana, “Perasaan yang terus-terusan dipendam, nggak baik lho buat kesehatan. Bisa bikin stress”
Aku cuma bisa diam mendengar ucapan nita. Aku tertunduk. Bener kata nita, yang paling penting adalah kita udah ngungkapin perasaan kita. Masalah dia nolak atau nerima, itu urusan belakangan. Tapi, kenapa aku masih takut??
“Emang kenapa kamu nanya itu, min??”
“Nggak apa-apa, kok….”
Nita memandangiku, “Ada cowok yang kamu suka, ya…..” Dia tersenyum, menggoda.
“Apaan, sih??” Wajahku langsung panas.
“Ayo, ngaku… Mukamu merah, tu…..” nita semakin menjadi.
“Ah, kamu nggak perlu, tahu…”
“Iiih… Malah main rahasia-rahasiaan….. Ntar aku bantuin comblangin, deh….”
“Bweeeee….” Aku menjulurkan lidahku.
“Yee… Malah ngeledek….”
Detik selanjutnya, tawa kami pecah. Seneng punya sahabat kayak Nita. Walaupun aku jarang curhat ke dia, dia tetep menghiburku tanpa pernah memaksaku untuk cerita tentang masalahku. Yah, dia emang sahabat yang pengertian, manis dan baik hati. Kak Syamsul, kakak kelas kami sekaligus pacar nita, bener-bener beruntung bisa dapetin si Nita.
@@@
Lapangan, jam 16 : 15….
“Baiklah, latihan hari ini cukup sampai disini. Kalian semua sudah boleh pulang” Kata pelatih kami, mengakhiri sesi latihan lari klub atletik.
“Iya, pak…” Koor para anggota klub.
Aku segera menuju keruang ganti wanita dan melap wajah serta leherku yang penuh keringat. Sesekali kuteguk air mineralku untuk mengurangi rasa gerah dan dahaga. Fuuh, hari ini lumayan panas. Latihannya jadi lebih capek dari biasanya.
“Duluan ya, min…” Tegur temanku, sesama anggota klub, yang hendak beranjak.
Aku hanya tersenyum. Sedikit demi sedikit, para anggota lain pun mulai meninggalkan sekolah. Sedangkan aku, aku masih harus membereskan buku-bukuku dikelas yang tadi belum sempat kubereskan. Masih dengan memakai baju olahraga, aku beranjak dari ruang ganti dan menapaki koridor. Suasana sekolah tampak lengang. Wajar saja, selain anggota klub atletik dan karate, yang lainnya sudah pulang sejak dua jam yang lalu.
Begitu sampai dikelas, bergegas kubereskan buku-bukuku. Aku pengen cepet pulang, pengen cepet mandi. Dengan agak terburu-buru aku menuruni tangga yang menghubungkan lantai satu dan dua, tapi tiba-tiba langkahku terhenti saat kudengar suara cekikikan dua orang cewek diujung bawah tangga.
“Kamu kejam, deh…. Kasihan kan si bahri…” Sahut sebuah suara yang tak kukenal.
“Salah sendiri dia terlalu nggak tegaan sama cewek”
Ah! Ini kan suara angel….
“Lagipula, bahri kan kaya. Sekalian aja, aku manfaatin
Apa?!
Aku benar-benar tak habis pikir, dengan apa yang dikatakan Angel barusan. Apa maksudnya mengatakan hal seperti itu?!
“Tapi aku nggak benci angel, walaupun dia banyak maunya, sih. Aku berusaha untuk sayang ma dia, kok…”
Tiba-tiba, perkataan bahri waktu itu terngiang dibenakku. bahri… Padahal dia tahu kalau si Angel itu matre… Tapi, bahri masih bisa bilang untuk berusaha menyayanginya. Kukatup mulutku kuat-kuat, mencoba menahan emosi. Gerahamku saling beradu akibat gejolak yang seketika meluap. Aku benar-benar tidak bisa menerima ucapannya itu! Kucengkram tas selempangku. Dan…
“Dasar cewek brengsek!!” Teriakku bersamaan dengan mendaratnya tasku kepunggung angel yang menimbulkan suara ‘Buk!’.
“Apa-apaan sih?!” angel refleks menoleh sambil mengusap punggungnya. Temannya hanya bisa memandanginya dengan bengong.
Kuturuni sisa tangga dengan menatapnya penuh amarah. Ingin rasanya, menghajar perempuan itu habis-habisan!
“Heh! Kamu yang ngelempar aku, ya?!” angel setengah membentak.
“Kamu bener-bener bajingan!!” Amarahku naik ke ubun-ubun, “bahri sudah mau nerima kamu, tapi malah kamu manfaatin!”
“Lho, emang kenapa?? Dari awal, aku emang cuma ngincar hartanya doang, kok. bahri juga bego, mau-maunya aku manfaatin!” Ucap Angel, santai sambil memamerkan senyum sinis.
Aku membelalak semakin emosi, “Kamu bener-bener brengsek!”
“Terserah kamu, mau ngatain aku apa. Lagipula, apa hubungannya denganmu?? Toh, Bahri itu pacarku. Aku berhak untuk memperlakukan dia kayak apapun”
“Aku berusaha untuk sayang ma dia, kok…”
Kalimat itu terngiang lagi. Padahal bahri sudah sangat baik terhadapnya, tapi kenapa dibalas sekejam ini?? Sekarang, malah airmataku yang ingin menghambur keluar.
“Tapi….” Nada suaraku berubah sedih, “Menyakiti orang sebaik bahri…. Itu… Itu benar-benar keterlaluan…”
“Cukup, Yasmin!” Bersamaan dengan itu, sesuatu menutupi mataku yang mulai basah. Sebuah tangan. Tangan besar dan hangat.
Perlahan kugenggam tangan itu dan mengangkat wajahku.
“Bahri….” Mataku semakin berkaca-kaca.
Bahri menatapku lembut dan tersenyum. Lalu dia beralih memandang Angel yang kaget dengan kehadiran Bahri yang tiba-tiba. Apa dia mendengar pembicaraan kami tadi??
“Angel… Dari awal aku udah tahu kalau aku cuma dimanfaatin. Tapi aku diem aja…. Tapi, perkataanmu tadi benar-benar kelewatan. Walaupun aku jadi pacarmu, kamu nggak punya hak untuk seenaknya denganku!” Suaranya terdengar tegas.
“Bahri… Tadi itu, aku cuma….”
“Aku nggak mau denger omonganmu lagi… Mulai sekarang, kita putus!” Setelah itu, Bahri menarik tanganku menuju lantai dua, meninggalkan angel yang terpaku.
bahri terus menarikku sampai akhirnya kami sampai keruang musik. Mataku yang tadinya hanya berkaca-kaca, sekarang sudah penuh dengan linangan airmata. Pipiku terasa lembab. Setiap bulir ini, tak kuasa kubendung. Terus mengalir begitu saja.
“Udah dong, yasmin, nangisnya….” Suara bahri terdengar lembut menembus telingaku.
“Hiks… Hiks….” Aku masih sesunggukan.
bahri bangkit dari duduknya dan langsung memelukku. Tangannya yang besar, mengusap rambutku. Meski agak kaget dengan perlakuannya itu, aku membiarkan saja tubuhku tenggelam dalam dekapannya. Karna rasa yang diberikan olehnya begitu hangat dan nyaman. Perlahan, membuatku merasa tenang.
“Udah tenang?” bahri melepas pelukannya dan menatapku.
Aku hanya menggangguk pelan. bahri kembali duduk dibangku dibalik piano. Dia lalu menautkan jari-jarinya dan bertopang dagu.
“Hmmh… Aku kaget waktu denger ribut-ribut dilantai satu. Kukira ada apa…” bahri tertawa kecil, “Cewek kalau berantem ternyata ngeri juga, ya…..”
“Kamu…. Denger semuanya?? Bukannya kamu, seharusnya latihan digedung olahraga???” Aku masih sedikit terisak sambil mengusap sisa-sisa airmataku.
“Udah selesai, kok. Tadi pas kalian ribut, aku lagi dikelas ngambil tas….”
Setelah itu, tiba-tiba atmosfer disekeliling kami berubah sepi. Bahri yang tiba-tiba diam dan memandangiku dengan wajah serius, membuatku jadi salah tingkah. Bingung ingin bersikap seperti apa.
“Ke, kenapa?”
Dia diam beberapa detik sebelum kemudian membuka suara, “Sekarang, bisa kamu ceritakan alasan kenapa kamu sampai nangis?? Benar kata Angel, kamu nggak ada hubungannya denganku….” Nada suaranya datar.
Nggak ada hubungannya??! Kalimat itu menyakitiku.
“Harus jujur….”
Potongan kalimat Nita waktu itu seolah menyindirku, sekaligus memberiku keberanian. Kuremas celana olahragaku, mengumpulkan segala keberanian yang kupunya.
“Apanya yang nggak ada hubungannya??” Sahutku lirih dengan wajah tertunduk.
“Bahri nggak pernah tahu…. Sejak SMP aku…. Aku sudah menyukaimu….” Wajah dan tubuhku serasa berubah jadi jantung. Semuanya berdebar mengiringi setiap kalimatku.
“Padahal, dulu aku sama sekali tak mengenal Bahri…. Bahri juga sebelum ini tak mengenalku…. Tapi….” Perlahan, kuangkat wajahku yang aku yakin merona seluruhnya, “Aku benar-benar menyukaimu….”
Mendengar pengakuanku yang susah payah itu, Bahri hanya memandangiku dengan mata besarnya yang bulat. Keteduhannya selalu terlihat indah. Bahri tersenyum sekilas, kemudian memutar posisi duduknya dan menaruh jari-jarinya diatas tuts piano.
Jari-jemari lentik Bahri yang mulai menari, dengan lincahnya menekan setiap tuts memainkan ‘Love Song’. Aku hanya bisa diam. Terpana sekaligus tak mengerti, apa maksudnya memainkan lagu ini setelah aku menyatakan perasaanku. Dan beberapa menit kemudian, melodi indah itu pun selesai mengalun. Lagu itu, masih saja berkabut.
“Kamu tahu makna lagu ini?” Tanya Bahri tanpa mengalihkan pandangannya dari tuts.
Aku hanya menatapnya tanpa tahu harus menjawab apa. Bukankah selama ini, aku yang selalu bertanya-tanya apa makna ‘Love Song’?? Kenapa dia malah tanya padaku.
Bahri menghela nafas dan melanjutkan kata-katanya…
“Lagu ini… Kubuat karna aku terpuruk dengan keadaanku yang terlahir dari keluarga berada. Bukan berarti aku tidak mensyukurinya, tapi itu membuat setiap orang yang mendekatiku, tak pernah tulus denganku. Yang mereka inginkan hanya harta orang tuaku….”
Bahri mengangkat wajahnya, menatap nanar langit-langit, “Wanita pun seperti itu. Mereka juga hanya mengejar hartaku, bukan karna memang mencintaiku. Aku menderita, min…. Sampai akhirnya, aku menyerah. Pasrah menerima cinta bullshit seperti itu” Lalu Bahri kembali terdiam.
Tetap menatap kosong keatas sampai akhirnya dia kembali memandangku. Ekspresi wajahnya waktu itu benar-benar terlihat tak berdaya. Namun, bibirnya masih bisa menyunggingkan sebuah senyum tipis.
“Sampai akhirnya, aku menemukan gadis yang benar-benar mencintaiku apa adanya. Tapi, min, gadis itu membuatku putus asa. Dia hanya berani memandangku dari jauh, tanpa berani menyapaku. Bagaimana aku bisa mendekatinya, sedangkan dia selalu menjauhiku??”
Kurasa aku tahu siapa gadis yang dimaksud Bahri.
“Aku terus menunggu, sampai dia berani menghadapiku dan menyatakan cinta padaku. Tentu saja dengan memberi sedikit pancingan….”
Jangan-jangan maksudnya pancingan itu, waktu dia menolongku ditaman, ya?
Tiba-tiba, Bahri meraih tanganku dan mendudukkanku dipangkuannya. Ya ampun…. Jarak wajah kami sangat dekat….
“Dan sekarang, kata-kata yang ingin kudengar itu pun akhirnya sudah kudengar….” Senyum tipis diwajah Bahri berubah menjadi lengkungan kebahagiaan yang sempurna, “Dan satu lagi, sejak kamu masuk sekolah ini, aku sudah memperhatikanmu. Melihatmu yang sedang berlari dilapangan, membuatku tak peduli dengan sekeliling. Karna diantara semua pemandangan yang kulihat…. Sosokmulah yang paling mencolok bagiku….
Blush…
Mungkin kalau aku tidak tahan, jantungku benar-benar bakal copot saking deg-degannya. Grogi tingkat dewa!!
“Love Song’ itu, sekarang juga berubah, Min…. Bukan lagi, musik indah yang sedih” Bahri menyingkirkan poniku yang agak menutupi wajahku, “Melainkan sebuah musik bernada bahagia yang menegaskan… Bahwa aku mencintaimu….” Kata-kata itu terdengar sangat manis.
Bahri mendekatkan wajahku kewajahnya, dan…
Chu!
Sebuah ciuman kilat mendarat dibibirku. Bahri hanya menatapku sambil senyum-senyum nggak jelas setelah mengambil ciuman pertamaku. Setelah mengerjap-ngerjapkan mataku dan berhasil mencerna apa yang barusan terjadi, kupandangi wajahnya yang masih tersenyum.
Ah… Wajah itu sudah jadi milikku, ya….
Ini bukan mimpi, kan???
Wajah tersenyum Bahri…. Benar-benar manis….
Tanganku jadi gatal sebagai konsekuensi dari menatap wajah babyface-nya itu. Aku pengen nyubit pipinya….
Kalau sekarang…. Udah nggak apa-apa, kan….??
Aku benar-benar tak tahan lagi!! Kuraih pipi Bahri dan mencubitnya dengan lembut.
“Aku menyukaimu, aku menyukaimu, aku menyukaimu!” Ucapku berulang-ulang sambil terus mencubitnya.
Lagi-lagi Bahri hanya tersenyum. Tapi, kemudian dia menggenggam tanganku, melepaskan cubitanku dari pipinya yang cubby.
Dan tanpa minta persetujuanku, Bahri kembali menciumku. Aku pasrah. Kupejamkan mataku, merasakan setiap sensasi hangat dari bibirnya. Lama-kelamaan, aku mulai bisa membalas ciumannya. Mengimbangi gerakan bibirnya. Hari beranjak semakin sore, tapi aku tak peduli. Karna aku… Ingin menikmati ciuman lembut ini… Lebih lama lagi….
THE ENDTop of Form

Tidak ada komentar:

Posting Komentar