Diam-Diam Suka
Perkenalkan namaku yasmin
al-baidhowi org biasanya manggil gua yasmin,ini adalah sepengal ceritaku dgn
seorang cowok yang bernama Azharrudhin haikal bahri.atau org lebih mengenal dia
dengan sebutan bahri cerita ini bermula saat aku melihat pp(poto profil)milik
seseorang, aku mulai tertarik denganya karna melihat mata yg sedih dan
menerawan di tamabah wajahnya yg imut dan sejak itu pula aku mulai tertarik
dengan senyuman dan wajah imutnya…mulanya aku hanya berani melihatnya dri jauh,
sampai pada saat ada seorang preman yg ingin berbuat yg tidak senonoh dan saat
itu pula sosok bahri hdir dan menghajar preman tsb,dan sjak itu pula kmu mulai
dkat dan saat itu jga aku mengetahui klau bahri itu sudah punya pcar, awalnya
sih ada rasa kesal,tpi aku mulai berfikir aku ngk mungkin bsa dkat bahkan jadi
kekasihnya bahri,tpi pemikiran ku itu slah…
Langsung aja ke ceritanya
Bekicot….
Aku duduk dibawah payungan ini,
bukan untuk mencari keteduhan. Bukan pula ingin merasakan kesejukan. Melainkan
karna aku mengejar bayangmu. Telingaku berusaha mencari suaramu yang mengudara,
mataku senantiasa berharap wujudmu akan hadir didepannya.
“Hei, Bahri, malam ini jadi ngumpul
nggak??”
Deg!
“Jadi. Tempat biasa, kan??”
Ah, suara ini. Suara yang daritadi
kunanti. Perlahan aku menoleh kearah suara itu berasal. Dan disana ada bahri
yang tengah berbicara dengan temannya. Aku terus memandanginya, tentu saja
secara diam-diam. Melihat wajah lembutnya, khayalan mengambil alih akalku.
Seandainya bahri menyapaku. Seandainya bahri mengajakku berbicara. Seandainya
senyum bahri itu untukku. Ya, seandainya.
Hah, dalam pikiranku begitu banyak
“seandainya”. Semua tentang bahri adalah “seandainya”. Jangankan menyapaku,
mengenalku pun bahri tak pernah. Aku terus memandangi bahri sambil bertopang
dagu, lalu menghela nafas. Aku mencintainya, tapi dia bahkan tak tahu aku.
Lucu.
Setelah bahri hilang dari
pandanganku, barulah aku beranjak dari payungan ditaman sekolahku ini. Setiap
hari duduk berlama-lama dipayungan hanya untuk melihat sosok Kou, itu sudah
cukup untukku. Aku tak berani berharap lebih. Lagipula, dia…
“yas!” Seseorang tiba-tiba menepuk
bahuku. Seketika lamunanku buyar.
Aku menoleh, “Oh, hai, nit”
“Daritadi kemana aja, sih??” nita,
sahabatku, mensejajari langkahku.
“Cuma dipayungan, kok”
“Kok aku nggak lihat?”
“Minus-mu makin parah, kali…”
Candaku.
“Iiiih… Rese’ ah. Mentang-mentang
aku mata empat!” nita manyun.
Detik berikutnya, tawa kami
berderai. Sambil asyik mengobrol, kami terus melangkah menyusuri koridor menuju
kekelas kami.
@@@
Taman, jam 17 : 50….
Kunikmati angin dingin yang
membuaiku sore itu. Aku duduk sendirian disalah satu bangku taman yang langsung
menghadap kearah matahari terbenam. Sinar lembutnya yang menerpaku, sedikit
menenangkan hatiku yang terus- menerus menyimpan perasaan suka sebesar ini
tanpa mampu mengungkapkannya. Sesak.
“Ahahahaha….” Aku tertawa pelan
sambil mengayun-ngayunkan kakiku.
“Hehehe… Haah….” Helaan nafasku
terasa berat, “Sakit, ya….” Gumamku.
Kupandangi kembali mentari senja
yang menciptakan semburat oranye disekelilingnya. Indah sekali. Seandainya
kisahku pun seindah itu.
Ah, lagi-lagi aku berandai…!
Senyum getir ku ukir. Senyum yang
memalukan. Menyedihkan. Aku jadi bertanya-tanya, bisakah suatu saat aku mengungkapkannya?
Akankah suatu hari nanti, senyum manis pada wajah babyface itu
jadi milikku??
“Hehe… Mungkin saja…” Aku bergumam
sendiri, berusaha meng-optimiskan diri.
Cukup lama aku duduk disini dan
setelah menghela nafas, untuk yang kesekian kalinya, akupun bangkit dari
dudukku dan beranjak dari bangku. Kulangkahkan kakiku menapaki jalan setapak
taman. Tak seberapa jauh dari bangku tadi, mataku menangkap sesosok pria yang
kukenal. Begitu aku memfokuskan indra penglihatanku padanya, aku sedikit terkejut.
Itu bahri!
Segera aku sembunyi dibalik semak
didekatku dan mulai mengawasi bahri.
Aku udah jadi kayak stalker aja… Aku tertawa lirih.
Kulihat bahri sedang memejamkan mata
dengan headset ditelinganya. Pasti dia tengah mendengarkan musik. Kuamati terus
bahri yang asyik menikmati dunianya.
Ah, wajahnya benar-benar
lucu…. Aku terhanyut. Tenggelam dalam
pesonanya yang begitu manis. Aarrgh.. Aku tidak tahan ingin mencubit
pipinya yang tembem itu. Teriak bathinku, gemas. Walau hanya sekedar
memandangi, aku tak ingin waktu seperti ini berlalu begitu saja.
“Waaa!” Khayalku seketika lenyap dan
aku refleks membalik badanku saat kurasakan sesuatu menyentuh pantatku.
“Kurang ajar! Mau apa kalian?!”
Hardikku pada dua orang tinggi besar bertampang mengerikan didepanku.
“Elu sendiri ngapain disini?” Salah
satu dari mereka menyeringai, tampang brewoknya membuatnya makin tampak
mengerikan, “Ini udah hampir malam, tapi cewek secantik elu masih keluyuran
diluar”
“Itu urusanku! Permisi!” Baru saja
aku hendak berjalan meninggalkan mereka, laki-laki yang satunya lagi menarik
tanganku dan menghempaskanku ketanah.
“Apa-apaan ini?!” Aku marah walau
rasa takut mulai merasuki benakku.
“Elu bakal nemenin kita malam ini.
Lagipula jam segini, taman ini sepi. Nggak akan ada yang nolongin elu, jadi
terima aja” Ucap pria yang menghempaskanku tadi.
Mereka mulai mendekatiku. Aku
berusaha menjauh tapi teman laki-laki yang bertampang brewok itu keburu
mencengkram kedua pergelangan tanganku.
“Lepasin!!” Bentakku. Tapi dia malah
tersenyum sinis.
Aku masih berusaha berontak.
Airmataku menggenang, aku sangat takut tapi suaraku sedikit pun tak mau keluar.
Si laki-laki brewok berjongkok disampingku dan bukan main terkejutnya aku saat
tangan pria brengsek itu turun hendak menyingkap bajuku. Akibat ketakutan yang
teramat sangat, aku hanya bisa menangis tanpa bisa berteriak sepatah pun.
Ya Tuhan…. Tolong aku….
BUAK!!!
“Agh!”
Setelah itu, aku mendengar suara
seseorang jatuh ketanah. Perlahan aku mengangkat wajahku dan membuka mataku.
Aku terpana. Didepanku, kulihat bahri tengah menghajar teman si brewok,
sedangkan si brewok sendiri terduduk ditanah dengan darah disudut bibirnya.
Dengan geram dia bangkit dan langsung melayangkan tinjunya kearah bahri. Tapi
dengan sempurna, bahri menghindarinya dengan mudah dan langsung mendaratkan
kepalan tangannya ke ulu hati pria itu.
“Kurang ajar!” Si brewok sedikit
terhuyung, “Brengsek! Lu lihat aja nanti, pasti gua bales!” Setelah berkata
seperti itu, si brewok segera memapah temannya yang tersungkur dan pergi
menjauh.
bahri hanya memandangi mereka.
Sedang aku, memandangi wajah bahri yang sedikit berkeringat. Dadanya naik turun
mengatur nafas. Beberapa detik berikutnya, bahri berbalik memandangku.
Keteduhannya membuatku tak sanggup untuk beralih. Perlahan, bahri menghampiriku
dan jongkok tepat didepanku.
“Kamu nggak apa-apa?” Hanya kalimat
itu yang terucap dari bibirnya.
Aku terdiam. Entah karna tatapannya
itu atau karna suara lembutnya. Tapi, begitu tersadar, ketakutan tadi kembali
menyeruak.
“Hiks…” Airmataku mulai menetes
lagi.
“Hei…” bahri terdengar sedikit
panik.
Tak tahu apa yang merasukiku, tanpa
pikir panjang aku langsung memeluk bahri dan mulai terisak. Pikiranku kosong,
yang kutahu hanyalah aku sekarang ketakutan dan ingin dipeluk. Selang beberapa
saat, kurasakan bahri membalas pelukanku dan mengusap lembut punggungku.
Ah, hangat….
@@@
Jam 19 : 10….
“Udah lebih tenang??” Tanya bahri
sambil menyodorkan sebotol air mineral.
“Ah, iya…” Aku menyambutnya dan
meneguknya sedikit.
Ah… Lega….
Saat itu kami tengah duduk dibangku
yang diduduki bahri tadi. Jujur saja, aku benar-benar gugup sekarang. Duduk
berduaan seperti ini benar-benar diluar dugaanku, apalagi kalau ingat tadi aku
memeluknya. Ya ampun, mukaku langsung panas.
“Ehm, makasih ya, tadi udah
nolongin…” Kataku, pelan. Aku tak berani mengangkat wajahku.
“Bukan apa-apa, kok” bahri hanya
menjawab pendek.
Meski deg-degan, kuangkat wajahku
mencoba menatapnya. Pada saat yang bersamaan, bahri juga sedang menoleh
kearahku. Aku terpaku. Apalagi saat melihat senyumnya yang biasanya hanya bisa
kulihat dari jauh itu.
Ya Tuhan, dia bisa membunuh
seseorang dengan senyumnya! Sahutku
dalam hati sambil mengalihkan pandanganku. Berusaha menenangkan debaran
didadaku ini.
“Oya, aku bahri. Kamu?” bahri
menyodorkan tangannya sambil tersenyum.
Kusambut tangan itu dengan agak
malu-malu, “yasmin” Jawabku sambil berusaha tersenyum.
“yasmin, ya. Namamu bagus” bahri
masih tersenyum.
Ah, betapa aku menginginkan senyum
itu hanya untukku. Tapi, aku bersyukur. Sekarang bahri sudah mengenalku. Apa
ini sebuah pertanda sesuatu? Aku terus memandangi bahri yang asyik mengajakku
ngobrol, sepertinya dia tak menyadari tatapanku. Aku tersenyum tipis.
Apakah bisa, suatu saat aku…
Lagu Love to be Loved by You-nya
Marc Terenzi menyentakku dari lamunan. Ini lagu darimana?
Kulihat bahri mengambil handphone-nya
dari saku. Oh, bunyi hp-nya, toh. Sekilas aku mendengar percakapannya dengan
orang yang menelepon itu. Kayaknya dari orang penting, soalnya bahri bicaranya
hati-hati.
“Iya, iya. Bawel. Bye juga,
say” Sahut bahri mengakhiri hubungan telepon.
Say?
“Sorry, ya. Pacar nelpon”
Katanya kemudian.
Deg!
“Nggak apa, kok” Kupaksakan agar
bibir ini bisa tersenyum.
“Kalau udah baikan, biar aku anter
kamu pulang” bahri bangkit dari duduknya lalu menyampirkan tas ranselnya
dibahu.
“Makasih, tapi aku bisa pulang
sendiri, kok.”
“Entar takutnya kenapa-kenapa
dijalan. Nggak usah cerewet, kamu nurut aja” Dia menarik tanganku, memaksaku
berdiri.
“Tapi…”
“Diem!”
Aku pun akhirnya menyerah dan hanya
mengikuti langkahnya yang menarikku. Dengan sedih, kutatap punggung bahri. Aku
kecewa . Karna diri sendiri.
Kenapa aku bisa lupa kalau dia udah
punya pacar?
Ternyata, aku terlalu berharap. Dia
mengenalku, bukan berarti aku bisa mendapatkannya. Senyum menyedihkan kembali
tercipta bersama setetes bening embun yang langsung kuseka. Kenapa aku begini?
Bukannya bisa kutekan, rasa ini malah semakin bertumpuk kala kurasa hangat
genggamannya menjalariku.
Seandainya aku tak pernah
mengenalnya. Seandainya aku tak nekat mengejarnya. Ah, selalu saja “seandainya”.
Kesal.
Aku terlalu menginginkanmu, bahri….
Sekolah, jam 07 : 09….
Gila! Semalaman aku nggak bisa
tidur. Kejadian kemaren itu mimpi atau nyata, ya? Aduh, akal sehatku udah
konslet. Aku mesti gimana kalau ketemu dia nanti?
“Eh, Ra! Pagi-pagi udah ngelamun,
aja” Tegur nita. Aku lupa kalau daritadi aku bersamanya.
“Maaf…” Aku nyengir kuda.
“Ngelamunin apa, sih? Asyik banget
kayaknya” nita memasang tampang penasaran.
Aku memandangi nita, “Ngelamunin
kamu, nit. Habis, aku selama ini fallin love ma kamu” Jawabku,
nggak pake mikir.
Nita melotot, “Iiich, jijay gue.
Jauh-jauh, gih sono!” Seru Nita sok ngusir dengan tampang sok geli.
“Ahahahaha…. Sini biar kucium” Aku
merentangkan tanganku berusaha memeluknya.
“Sadar,Yasmin! Tu muka udah mirip
ikan lohan, monyong-monyong gitu” Tangan Nita mendorong pipiku berusaha menahan
seranganku.
Aku menghentikan seranganku dan
ngakak melihat Nita memasang wajah sebal. Tapi ekspresi itu tak bertahan lama,
sampai akhirnya kami pun tertawa bersama. Kegundahanku untuk sekejap
terlupakan.
Coba perasaanku bisa se-enteng ini
tiap hari….
@@@
I can feel, I can feel you near me
Eventhough you’re far away
I can feel, I can feel you baby
Why
It’s not supposed to feel this way
I need you, I need you
more and more each day
It’s not supposed to hurt this way
I need you, I need you, I need you
Tell me, are you and me still
together?
Tell me, do you think we could last
forever?
Tell me, why (Avril Lavigne – Why)
“Yasmin kalau lagi main gitar keren,
deh…” Nita menatapku sambil senyum-senyum.
“Kalau jadi cowok, pasti cakep…”
Lanjutnya, nyengir.
“Yee… Ada-ada aja elu” Aku meninju
lembut lengannya.
Siang itu, kami masih berada
dipayungan sekolah, meskipun bel pulang sudah berbunyi setengah jam yang lalu,
sambil menikmati dua botol cola dingin. Aku juga asyik memetik
gitar yang tadi kupinjam dari ruang musik.
“Eh, min, nyanyi lagi, donk” Nita
memasang wajah memelas.
“Ogah, ah. Kering ni tenggorokan,
daritadi kamu suruh nyanyi terus” Aku mengambil cola-ku yang
tinggal setengah dan langsung menghabiskannya.
“Sapa suruh punya suara bagus”
“Kalau beneran mau, traktir donk!”
“Kamu kira aku punya banyak duit,
apa?!”
Aku hanya tertawa. Kemudian, aku
bangun dari dudukku.
“Eh, nit, mau ikut keruang musik
nggak??”
“Kenapa emang?”
“Nggak… Bosen aja disini, apalagi
mulai panas, nih” Jawabku sambil menjepit rambut panjangku yang ikal untuk
sedikit mengurangi rasa gerah.
“Nggak, deh. Aku mau pulang, aja.
Capek, mau istirahat”
“Oh, ya udah. Kutinggal, ya…. Dah…”
“Yup!”
Dan aku pun beranjak sambil menyenteng
tas berisi gitar. Begitu sampai didepan ruang musik, aku menghentikan
langkahku. Dari balik pintu, aku bisa mendengar alunan merdu musik dari piano.
Aku pun merapat dan memfokuskan telingaku pada suara itu.
Aku nggak pernah dengar lagu ini….
Aku semakin merapatkan tubuhku
kepintu.
Musik yang indah….
Entah mengapa, hatiku berdebar
mendengar lagu ini. Alunannya menenangkan walaupun terdengar sedih. Karna
terbuai dalam setiap melodinya, aku semakin merapat dan…
Kriieett….
“Waa…!” Pekikku. Hampir saja aku
terjerembab akibat pintu yang tiba-tiba terbuka itu.
Alunan musik indah tadi seketika
berhenti. Aku agak terkejut, melihat siapa yang sedang duduk dibalik piano
hitam diruang musik.
“bahri?” Setelah beberapa detik
terpana, hanya kata itu yang keluar dari mulutku.
bahri juga sepertinya sempat
terkejut melihatku yang tiba-tiba masuk. Tapi kemudian dia tersenyum. Manis.
Rambutnya yang agak panjang dan sedikit berantakan itu benar-benar serasi
dengan wajah babyface-nya.
“Ma, maaf… Kalau aku mengganggumu.
Aku cuma mau balikin gitar ini, kok” Sahutku, agak gugup.
“yasmin nggak ganggu, kok” bahri
masih tersenyum.
Aku pun bergegas menaruh gitar
disudut ruangan dan segera berbalik kearah pintu. Tapi, baru satu langkah
beranjak, langkahku terhenti lagi. Aku penasaran dengan lagu tadi. Setelah
mengumpulkan keberanian, aku pun membalikkan badan.
“Ehm…. bahri!” Tegurku. Kemudian,
perlahan aku menghampirinya.
“Em?” bahri mengalihkan tatapannya
dari tuts piano dan menatapku dengan matanya yang indah.
“Eee… Lagu tadi, aku nggak pernah
dengar. Tapi, lagunya bener-bener indah. Lembut dan menenangkan tapi terdengar
sedih” Ucapku agak lirih dan malu-malu.
“Menurutmu lagu itu bagus??” Tanya
bahri dengan tampang seolah tak percaya.
“Iya. Bagus banget, malah”
bahri terdiam. Anehnya, dia tampak
tersipu. Bisa kulihat sedikit rona merah dipipinya. Agak kaget juga, sih. Karna
aku tak pernah melihat bahri seperti ini. Setiap harinya, bahri selalu
terlihat cool.
“Kamu kenapa?” Aku sedikit melongo
ingin melihat raut wajahnya yang baru sekali ini kulihat itu.
“Ah, itu… Lagu itu tadi… Itu lagu
buatanku” Jawabnya masih dengan wajah tersipu.
“Serius?!” Aku membelalak takjub.
bahri hanya mengangguk, “Baru
selesai tadi, sih…” Sahutnya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
“Hebat! Ternyata bahri yang selalu
tampil cool, bisa bikin lagu sebagus itu!” Kegugupanku perlahan
berkurang meski dadaku masih berdebar.
“Selalu? Memangnya kamu selalu
merhatiin aku, ya??” bahri menaikkan sebelah alisnya.
“Ah! Itu… Emm… Nggak, kok! Aku tahu,
karna banyak yang bilang kalau bahri itu cool” Jawabku, berbohong.
“Oooh…”
Fuh, untung saja. Jangan sampai dia
tahu kalau aku memang selalu memperhatikannya.
“Oh ya, bahri… Judul lagu tadi apa?”
Aku berusaha tersenyum.
bahri tak langsung menjawab, tapi
dia malah menatapku dengan tatapan yang tak kutahu apa artinya. Suasana yang
hangat tadi seketika berubah sunyi. Aku jadi merasa tak nyaman dan merasa
bersalah.
Apa aku ada salah ngomong, ya?
Tapi, detik berikutnya, bahri
tersenyum lembut. Namun entah kenapa, aku merasa ada yang salah. Mata teduhnya,
menyiratkan duka.
Kenapa?
“Judulnya… ‘Love Song’”
@@@
Love… Song… Love… Song….
Kata-kata itu terus terngiang dibenakku. Memenuhi setiap sudut pikiranku.
Kalimat ‘Love Song’ itu benar-benar membuatku resah.
“Aaaaahhhh….!” Seruku pelan sambil
berguling-guling dikasurku. Putus asa.
“’Love Song’… Lagu cinta buatan
bahri….” Gumamku pada diri sendiri, “Kira-kira, lagu itu untuk siapa, ya….??”
Kira-kira lagu itu buat siapa yaaa…?
Mau tau lanjutannya….?
Yang sbar ya…tunggu aja bsok bkalan
d lanjutin….:)
Ya, aku resah karna aku penasaran,
bahri membuat lagu itu untuk siapa. Dan apa makna dari lagu itu. Kenapa lagu
cinta itu terdengar sedih. Bukankah bahri punya pacar? Apa dia sedang ada
masalah? Apa mereka akan putus?
Ah! Aku mikir apa sih?? Aku sedikit tersentak dengan pikiranku sendiri.
Kejam sekali aku. Sebagai sesama
wanita, tentu aku tak ingin pacar bahri jadi sakit hati. Tapi, sebagai wanita
yang mencintainya, tak kupungkiri bahwa aku memang berharap hubungan mereka
berakhir.
Bodoh! Walaupun bahri putus dengan pacarnya,
memangnya kau pikir bahri akan langsung jadi milikmu?? bahri saja baru
mengenalmu kemarin! Bathinku, memaki
diri.
Aku bangkit dari posisi berbaring
sambil memeluk Boneka, teddy bear kesayanganku. Entah kenapa,
dadaku jadi sesak. Tanpa bisa kutahan, airmataku menggenang. Aku menenggelamkan
wajahku kepelukan Boneka teddyku saat
telaga duka itu tumpah.
“Kenapa malah nangis, sih….” Lirihku
dalam isak tertahan.
Aku mengangkat wajahku. Menyeka
setiap bulir yang jatuh. Mataku tertuju pada frame foto diatas
meja belajarku. Dengan pandangan agak buram karna airmata yang masih menggenang,
kuperhatikan foto bahri yang sedang tersenyum itu. Foto yang diam-diam ku-download dari
Facebook-nya.
Benar juga, aku mengenal bahri
awalnya memang dari Facebook. Saat itu aku masih SMP kelas 3. PP(photo
profile)-nya waktu itu benar-benar menarik perhatianku. Kala itu,
wajah babyface Kou menyiratkan kesedihan yang dalam. Aku bisa
merasakan itu dari tatapan matanya yang menerawang.
Hanya karna wajah sedih itu dan
karna terpesona dengan senyum manisnya yang kulihat di albumnya, aku nekat
mengejar bahri yang waktu itu sudah berstatus “berpacaran”. Entah sejak kapan,
aku jadi menginginkan senyumannya itu. Menginginkan setiap jengkal siluet
sempurna itu hanya untukku. Aku menghela nafas. Berusaha memberi ruang untuk
melepas sesak didadaku.
“Hei, bahri…” Sahutku, berbisik,
“Bolehkah aku berharap… Kalau lagu itu kau buat untukku??”
@@@@@@@
Lagi-lagi aku tak bisa tidur. Semalaman
aku terus memikirkan maksud dari ‘Love Song’ itu. Haah… Mana mungkin, kan, hal itu
langsung kutanyakan pada bahri. Aku terus berjalan menyusuri koridor tanpa
semangat sedikit pun meski ini masih pagi. Ahhh!
“Pagi, yasmin!” Seseorang menepuk
bahuku. Aku menoleh. Kaget.
“Pa… pagi…” Aku langsung menunduk
karna takut bahri, yang tadi menyapaku, melihat wajahku yang bersemu ini.
“Kamu kenapa? Pagi-pagi, udah kelihatan
nggak semangat gitu…” bahri berjalan mensejajari langkahku.
Senangnya… bahri memperhatikanku.
“Ehm, aku nggak apa-apa, kok”
“Tadi pagi nggak sarapan, ya??”
bahri menunduk dan wajahnya tepat berada didepan wajahku. Langkahku refleks
terhenti.
“E, eh?” Mataku tak bisa berkedip
dipandang dari dekat seperti ini. Bahkan aku tak bisa bergerak untuk membuang
muka. Semoga pipiku tidak merah.
“Hmm, mukamu pucat. Kamu pasti nggak
sarapan” bahri membuat kesimpulan sendiri dan kembali berdiri tegak.
Syukurlah…..
“Ayo, kekantin!” Tiba-tiba saja,
bahri menarik tanganku. Hampir saja aku terjatuh.
Segera aku mengimbangi langkahnya,
“Aku bener-bener nggak apa-apa, bahri…..
“Udah, kamu nurut aja…” Jawab bahri
tanpa menoleh.
Ternyata bahri adalah orang yang
suka memaksa dan seenaknya. Tapi, meski begitu, aku justru merasa senang. Tentu
saja karna bahri memperhatikanku. Padahal dia baru beberapa hari mengenalku.
bahri benar-benar baik…. Aku jadi tersenyum sendiri.
Sesampainya dikantin, bahri
menyuruhku untuk duduk dan menunggu. Ya, aku menurut saja. Tak lama, dia datang
membawa dua buah roti bakar dan dua buah susu kotak rasa stroberi.
“Nih, dihabisin ya….” Dia
menyodorkan salah satu roti kearahku.
Aku menyambutnya, “Terima kasih…”
Melihat bahri yang santai-santai
saja, aku pun tanpa sungkan mulai memakan roti ditanganku. Enak. Sesekali
kuperhatikan bahri yang sedang asyik dengan rotinya. Aduuuh… Kenapa wajahnya
harus semanis itu kalau sedang makan. Ah, bahri benar-benar lucu.
“bahri!” Tiba-tiba, terdengar suara
wanita memanggilnya dari belakang. Wanita itu menghampiri kami.
bahri menoleh, “Oh, hai, angel… Ada
apa?”
angel, dia adalah pacar bahri. Siswi
kelas 3 yang centilnya minta ampun. Entah apa yang membuat bahri mau menjadikannya
pacar. Memang kuakui, angel lebih cantik dariku. Dia juga menarik dan percaya
diri. Sedangkan aku, aku cuma gadis biasa yang hanya karna melihat bahri
tersenyum saja sudah malu-malu.
“Ngapain sih disini?? Daritadi
kutungguin dipayungan, nggak dateng-dateng” Sahut angel dengan nada manja.
“Maaf, maaf…. Tadi aku barengan ma
dia dikoridor. Dia belum sarapan makanya kuajak sarapan dulu”
“Cewek dekil kayak gini nggak usah
dikasih perhatian. Entar ngelunjak” angel menatapku sinis, “Yuk, kepayungan!”
“Iya, iya…Yasmin. Aku tinggal ya, …
Maaf… “ Dari eksperinya, bahri tampak tak enak denganku karna kata-kata angel
tadi.
“Nggak apa, kok” Aku berusaha
tersenyum. Dan bahri pun beranjak dengan tangan yang digelayuti manja oleh
angel.
Uh! Aku mencengkeram ujung meja
kantin. Rasanya aku pengen banget ngelempar meja ini kewajah brengseknya itu!!
Tapi, kuurungkan niatku karna takut bakal disuruh ganti rugi. Aku pun langsung
ngeloyor pergi dari kantin.
Dengan sebal kususuri koridor ini
untuk menuju kekelasku. angel benar-benar menyebalkan! Dia pasti sengaja
bermanja-manja seperti itu.
Huh! Pagi-pagi udah sakit hati!
Tiba-tiba, aku tersadar akan
sesuatu.
Untuk apa kau sakit hati??? Kau kan
bukan pacar bahri….. Lagipula bahri juga takkan peduli sesakit apapun hatimu.
Kau bukan siapa-siapa bahri.
Tapi tadi dia perhatian padaku!!
bahri kan baik, tentu dia perhatian
pada siapa saja!
Salah! bahri memang memperhatikanku….
Ge er! Buktinya, begitu angel datang
dia langsung meninggalkanmu!
Aku bertengkar dengan diriku
sendiri. Kepalaku jadi pusing. Hah, apa salah kalau aku berharap bahri memang
memperhatikanku? Aku cuma sebatas berharap. Setidaknya, itu kebahagiaan kecilku.
Sudah dikenal olehnya saja, sudah membuatku senang setengah mati.
Seandainya aku seperti cewek lain…
Yang bisa percaya diri mendekati bahri dan menyatakan perasaan mereka walaupun
tahu akan ditolak… Hmmh… Jadi ngerasa nggak punya harapan lagi…..
@@@
Istirahat pertama, jam 09 : 45….
Aku sedang malas kekantin. Pikiran
dan hatiku sedang kacau. Dan parahnya, nita ada rapat OSIS yang membuatnya
tidak bisa menemaniku. Dan satu-satunya alternatif untuk menenangkanku saat ini
adalah….. bermain musik!
Aku berlari kecil menuju ruang musik
yang tak begitu jauh dari kelasku dilantai dua. Aku ingin cepat-cepat memetik
gitar dan bersenandung. Untung saja, guru Kimia yang akan mengajar setelah
istirahat sedang cuti, jadi aku bisa berlama-lama diruang musik.
Begitu masuk keruang musik, aku
langsung mengeluarkan gitar dari kotaknya dan mengambil tempat duduk didekat
jendela disamping piano. Melihat piano itu, aku jadi teringat dengan lagu
ciptaan bahri. Rasanya ingin sekali mendengar lagu itu lagi.
Iseng aku mencari-cari partitur
‘Love Song’ diantara lembaran-lembaran partitur diatas piano. Ah! Ini dia!
Kutaruh partitur bertuliskan ‘Love Song’ dengan kalimat ‘Cipt. Azharrudin
Haikal Bahri’ dibawahnya itu di lembaran paling depan dan menaruhnya kembali
keatas piano. Aku mulai memetik-metik gitarku, mencari nadanya. Setelah cukup
lama berkutat dengan notasi musik itu, aku pun berhasil mendapatkan semua kunci
nada dari not-not balok tersebut.
Setelah menarik nafas dalam-dalam,
jari-jariku pun mulai memetik setiap senar gitar ini. Menciptakan sebuah musik
lembut namun menyedihkan yang menyatu apik dengan senandungku. Beberapa menit
kemudian, lagu itu pun selesai. Tanganku gemetar dan ada sesuatu yang
bergejolak liar didadaku. ‘Love Song’ ini, masih sama dengan aura musik
permainan bahri waktu itu. Menenangkan namun sendu.
Prok, prok, prok!
Refleks aku membalikkan badanku dan
aku sangat kaget melihat bahri tersenyum memandangku sambil bertepuk tangan.
“Kamu hebat! Permainanmu benar-benar
bagus!” Pujinya. Senyumnya masih terkembang.
“Ah, terima kasih… Dan maaf… Aku
membaca partiturmu seenaknya…” Lagi-lagi aku menunduk, menyembunyikan rona
merah dipipiku.
“Ah, nggak apa… Aku nggak nyangka,
laguku bisa dimainkan sebagus itu dengan gitar” bahri berjalan kearahku dan
menduduki kursi dibalik piano, “Kamu pintar, lho… Membaca not balok dan
ngebikin jadi kordgitar kan susah”
“Soalnya, aku udah belajar gitar
dari kecil… Sebagian besar keluargaku juga hobi musik….” Sahutku, tersenyum.
Aku sangat senang karna bahri
memujiku. Ya ampun…. Mukaku panas. Tiba-tiba, aku teringat sesuatu.
“Oh, iya, bahri…. Ada satu hal yang
membuatku bingung. Aku mencoba sedikit mengaransemen nadanya, tapi lagu itu
tetap aja membuat pendengarnya merasa sedih… Aku bahkan sampai gemetar….”
Menanggapi ucapanku itu, bahri hanya
tersenyum lembut, “Diaransemen seperti apa pun dan dimainkan oleh siapa pun,
perasaan penciptanya tetap akan dirasakan oleh pendengar. Karna lagu ini….”
bahri menatap mataku dalam dengan tatapan yang tak kumengerti, menggantung
kata-katanya.
Kenapa lagi-lagi mata itu terlihat
berduka??
“Terbuat
dari hati yang sedang putus asa………”
@@@
Untuk kesekian kalinya, bahri
kembali membuatku penasaran! Aku baru sadar, setiap kali membicarakan makna
dari lagunya itu, selalu tercipta telaga kesedihan dimatanya yang teduh. Aku
tak mengerti. Kesedihan itu tertangkap olehku, tapi sedikit pun aku benar-benar
tak tahu apa maksudnya. Karna menurutku, kenapa bisabahri tak bahagia?
Latar belakangnya yang adalah salah
satu putra dari seorang pemegang perusahaan terkenal di jakarta, membuatnya
bebas melakukan apa saja. Bahkan, bebas memilih wanita mana pun yang
disukainya. bahri juga memiliki paras yang tampan dan tubuh yang mengagumkan.
Bukankah itu, harapan semua cowok?
Jadi apa yang membuatnya tak
bahagia??
“Eh, yasmin! Ngelamun, aja… Yuk,
pulang!” Suara nita mengagetkanku dan membuatku sadar bahwa kelas sudah
lengang. Hanya ada beberapa siswa yang masih sibuk membereskan isi tas mereka.
“Ah, iya….” Aku segera memasukkan
buku-buku dan peralatan tulisku kedalam tas dan mengiringi langkah nita yang
keluar kelas lebih dulu.
Namun, seketika pikiranku kembali
menerawang. Mata sedih itu kembali membayang dibenakku. Memenuhi setiap sudut
akalku.
Aku benar-benar tidak mengerti…..
bahri…. Sebenarnya, apa yang
membuatmu tak bahagia???
@@@@@@@
Di minggu pagi yang cerah ini, aku
sudah asyik melamun dibalkon kamarku. Haah…. Meski aku memandangi jalan didepan
rumahku yang daritadi ramai dengan orang-orang yang sedang jogging,
pikiranku tertuju kearah lain. Ya, ke siapa lagi kalau bukan sosok bahri.
Selain masih penasaran dengan ‘Love Song’, aku juga berpikir tentang keadaanku
sekarang.
Aku bingung. Apa aku akan
terus-terusan memendam perasaanku? Padahal setiap harinya, setiap melihat
senyumnya, rasa ini menjadi semakin menyesakkan. Sampai kapan aku bisa tahan?
Bohong, kalau aku bilang aku nggak ingin bilang suka ke bahri, tapi aku masih
ragu. Aku takut dengan harapanku sendiri. Padahal aku tahu, bahri sudah punya
pacar. Tapi aku tetap saja sangat sangat menginginkannya. Aku benar-benar
berharap dia jadi milikku.
Aduuuhh… Malah jadi ribet… Pusing,
nih…!!! Bathinku sambil mengacak-acak
rambutku saking sebalnya.
“Yasmin!”
Tanganku refleks berhenti. Aku
melongo mencari asal suara itu. Dan aku jadi panik beresin rambut pas tahu suara
itu berasal dari bahri yang sedang berdiri tepat didepan pagar rumahku.
“Pagi!” Sapanya dengan senyum
khasnya.
Dia tahu rumahku darimana????
“Yasmin, mau nemenin aku jogging nggak???”
Serunya, lagi.
“Hah?” Aku berlagak budeg. Aku
agak-agak nggak percaya dengan apa yang kudengar barusan.
“Mau nemenin aku jogging,
nggak??” Ulangnya.
Aku berpikir sesaat.
Celingak-celinguk melihat jalanan dengan harapan tak ada Angel disana.
“Ya, udah…. Tunggu bentar, ya….” Aku
masuk kedalam kamarku.
Lima menit kemudian, aku sudah ada diluar
dan segera menghampiri bahri. Kurasa bahri nggak sadar, kalau tubuhnya yang
dibungkus kaos olahraga ketat itu membuatku panas dingin. Ah, badannya
benar-benar bagus.
“Eh, yasmin! Jangan ngelamun dong!”
bahri menjentikkan jarinya tepat didepan wajahku, membuatku tersadar dari
kekagumanku.
“Ma, maaf…”
Dan kami pun mulai berlari santai.
Matahari pagi masih bersinar lembut. Masih nyaman untuk dibuat jogging.
“Eh, bahri… Kamu tahu rumahku
darimana?” Tanyaku memulai obrolan.
“Tadi cuma kebetulan lewat, kok.
Rumahku kan diblok sebelah. Tiap minggu pagi aku pasti lewat sini…. Nggak nyangka
ternyata rumahmu disitu…” bahri tertawa kecil.
Yah…. Kirain emang sengaja mampir…. Aku langsung kecewa tapi berusaha kusembunyikan.
“By the way, kenapa nggak
bareng Kak angel, aja?”
“Rumah angel kan bukan daerah sini.
Lagipula, angel mana mau diajak olahraga, apalagi lari. Kamu kan suka lari,
jadi sekalian aja kuajak. Dan lagi, tadi keliatannya kamu lagi suntuk banget…”
Jelasnya.
“Oooooohh….”
Tunggu! Tahu darimana bahri, kalau
aku suka lari???
“Kamu tahu darimana, aku suka
lari??” Aku menatapnya dengan pandangan menyelidik.
Tak kusangka, gelagat bahri langsung
berubah, “Oh, ah, emm… Itu…. Oh, iya, kamu kan ikut ekskul atletik! Ya, kamu ikut
atletik. Makanya aku tahu…” Dan bahri langsung mempercepat larinya
mendahuluiku.
Aku menatapnya dengan curiga dan
heran. Nah, lho, tahu darimana lagi dia kalau aku ikut atletik? bahri kan ikut
karate. Aku masih terus berlari kecil, membiarkan bahri didepanku. Aku masih
heran dengan dia yang kayaknya udah tahu semua tentangku. Atau, jangan-jangan…
Selama ini dia diam-diam memperhatikanku…
Aku tersentak, kaget sendiri dengan
pikiranku.
Nggak mungkin, ah…. Masa
sih….. Aku malah jadi malu-malu sendiri.
Siapa tahu!
Ah, nggak, ah…..
Wajahku semakin panas, gara-gara
dialog bathinku sendiri. Aku aneh, ih… Ngomong kok sama diri sendiri. Bibirku
mengukir senyum.
Bagus, kalau seandainya dia emang
merhatiin aku…. Hehe….
“Eh, yasmin, duduk ditaman, yuk!”
Aku tak sadar kalau bahri ternyata sudah berada disampingku lagi. Sikapnya
kembali seperti semula, seolah tak terjadi apa-apa. Padahal tadi dia kelihatan
kikuk banget.
“Boleh” Aku mengikuti langkahnya
yang menuju kesebuah bangku taman dibawah pohon yang lumayan rindang.
Ahh… Sejuknya…
Setelah duduk beberapa saat,
kuperhatikan bahri yang sedang melap keringatnya dengan handuk kecil yang tadi
dikalungkan dilehernya. bahri keren….
“Kenapa, yasmin?” bahri sadar kalau
dia sedang diperhatikan.
“Ah, nggak….” Aduh, nggak bisa ngaku
kalau emang sengaja ngeliatin.
Setelah itu, cukup lama kami
terdiam. Taman tempat kami istirahat, lumayan sepi. Aku jadi deg-degan kalau
keadaannya kayak gini. Apalagi, dengan adanya bahri yang duduk tepat
disampingku. Jadi makin grogi.
“Yasmin… Kamu pernah jatuh cinta, nggak??”
Suara bahri terdengar lirih.
Kenapa dia tiba-tiba nanya itu??
“Tentu aja, pernah. bahri sendiri?”
Jawabku sekenanya. Padahal pengen banget bilang kalau dialah yang membuatku
jatuh cinta.
bahri hanya mengangkat bahu kemudian
tersenyum tipis, “Hehe… Entahlah…”
“Eh?” Refleks aku memandanginya.
“Kenapa, lagi?” Dia menoleh. Untuk
sesaat, pandangan kami bertemu.
“Emm… Nggak apa-apa….”
Aku jadi semakin heran, kalau bahri
nggak pernah jatuh cinta, terus dia pacaran sama angel karna apa?? bahri nggak
kelihatan kayak cowok yang suka main-main. Menurut gossip sih, si angel yang
nembak. Tapi kalau nggak ada rasa, kenapa bahri mau nerima???
“Emm, bahri…. Maaf sebelumnya, ya.
Kalau bahri nggak pernah jatuh cinta, kenapa kamu pacaran sama Kak angel?” Aku
memberanikan diri untuk bertanya.
“Hmmm… Waktu itu, dia yang nembak,
sih. Pake pasang tampang mewek, segala. Aku jadi nggak tega. Aku nggak pernah
bisa tahan kalau ngelihat cewek nangis….” Ucapnya sambil tersenyum lembut.
Hatinya benar-benar lembut,
ya…..
“Tapi, kalau nggak ada rasa,
bukannya itu malah bikin sakit kalau ketahuan. Yang namanya pacaran kan harus
atas dasar suka sama suka” Sahutku, pelan.
“Hehe… Iya, juga ya… Kan nggak enak
tuh maksain perasaan ke hal yang nggak disukai. Tapi aku nggak benci angel,
walaupun dia banyak maunya, sih. Aku berusaha untuk sayang ma dia, kok…” Aneh.
bahri menanggapi dengan wajah yang sedih.
“Tapi, aku ngerasa angel juga nggak
beneran suka ma aku….” Lanjutnya, lirih.
Aku hanya menatapnya lagi. Aku nggak
terlalu mendengar apa yang barusan diucapkannya jadi aku hanya bisa diam untuk
menanggapi.
Suasananya tiba-tiba jadi sunyi.
Bukan karna taman ini emang lagi sepi. Tapi karna atmosfer diantara kami
berubah. Ada sesuatu, yang aku tak tahu apa, dalam diri bahri yang dia
sembunyikan dari orang-orang sekitarnya.
Sepertinya hidupnya nggak sebahagia
yang aku
kira….
@@@@@@@
Sekolah, istirahat pertama, jam 09 :
50….
Aduuh, masih kepikiran yang kemaren.
Makin lama kenal bahri, aku jadi makin penasaran. Ternyata, sosok bahri yang
kulihat selama ini, cuma figure buatan. Setiap hari, bahri
selalu terlihat ceria. Tapi nyatanya, keceriaan itu hanya untuk menutupi duka
dihatinya. Tapi, aku masih nggak tahu, duka macam apa yang dia simpan?? Rasanya
pengen banget meluk dia, tapi mustahil kan aku yang bukan siapa-siapanya ini
berani melakukan hal seperti itu. Aku juga masih bingung tentang menyatakan
perasaan atau nggak.
“yasmin!”
Aku asyik dengan lamunanku.
“yasmin!”
Aku masih asyik tanpa peduli dengan
sekelilingku.
“yasmin!!!”
Plakk!
Akhirnya, aku tersadar saat
kurasakan sakit menjalari pipiku.
“Apa-apaan sih kamu, nit….. Sakit,
tahu….” Rengekku sambil mengelus-elus bekas tamparan nita.
“Habis kamu nyebelin, sih….
Daritadi, kupanggil-panggil nggak nyahut-nyahut. Kamu mikirin apa sih? Sampai
aku dicuekin mulu!” nita pasang tampang sebal.
Akunya cuma nyengir kayak kuda, “Sorry deh…..
Udah, jangan marah…..”
“Nggak mau, ah…!” Yah, ni anak malah
ngambek.
“Kutraktir, deh…. Tapi udah
marahnya, ya…” Aku berusaha membujuknya.
nita tampak sedang berpikir sambil
menatap mangkok bakso-nya yang sudah benar-benar kosong.
“Oke, deh… Tapi tambah satu mangkok
lagi, ya….”
Set dah, badan boleh kecil, tapi porsi
makan kayak kuli bangunan! Aku hanya mengangguk pasrah. nita tampak
senyum-senyum sendiri sambil berjalan menemui ibu kantin. Tak lama, dia kembali
dengan semangkok bakso hasil kepasrahanku. Ah, duitku……
“Oya, min… Kamu sebenernya lagi
mikirin apa, sih? Akhir-akhir ini, kamu sering ngelamun, lho…..” Tanya nita
disela aksi suap-menyuapnya.
Aku diam. Kualihkan pandanganku
kearah siswa-siswi yang lalu-lalang disekeliling kami. Menerawang.
“Kenapa nggak dijawab, min?”
“Hmmh… nit, boleh tanya sesuatu,
nggak??” Aku balik memandangnya.
“Tanya apaan??” nita berhenti
memasukkan makanan kemulutnya.
“Eemm… Kalau seandainya kamu suka ma
seseorang, apa yang bakal kamu lakuin??” Nada bicaraku berubah serius.
“Ya, harus jujur ma orang itu,
donk!” nita langsung menjawab tegas. Bola mataku membulat saking kagetnya.
“Tapi kalau orang itu udah punya
pacar, gimana??”
“Tetep jujur. Nggak penting dia udah
punya pacar atau belum. Nggak penting juga dia bakal nerima atau nggak. Yang
penting adalah kita udah ngungkapin apa yang kita rasain” Sahut nita,
bijaksana, “Perasaan yang terus-terusan dipendam, nggak baik lho buat
kesehatan. Bisa bikin stress”
Aku cuma bisa diam mendengar ucapan
nita. Aku tertunduk. Bener kata nita, yang paling penting adalah kita udah ngungkapin
perasaan kita. Masalah dia nolak atau nerima, itu urusan belakangan. Tapi,
kenapa aku masih takut??
“Emang kenapa kamu nanya itu, min??”
“Nggak apa-apa, kok….”
Nita memandangiku, “Ada cowok yang
kamu suka, ya…..” Dia tersenyum, menggoda.
“Apaan, sih??” Wajahku langsung
panas.
“Ayo, ngaku… Mukamu merah, tu…..”
nita semakin menjadi.
“Ah, kamu nggak perlu, tahu…”
“Iiih… Malah main
rahasia-rahasiaan….. Ntar aku bantuin comblangin, deh….”
“Bweeeee….” Aku menjulurkan lidahku.
“Yee… Malah ngeledek….”
Detik selanjutnya, tawa kami pecah. Seneng
punya sahabat kayak Nita. Walaupun aku jarang curhat ke dia, dia tetep
menghiburku tanpa pernah memaksaku untuk cerita tentang masalahku. Yah, dia
emang sahabat yang pengertian, manis dan baik hati. Kak Syamsul, kakak kelas
kami sekaligus pacar nita, bener-bener beruntung bisa dapetin si Nita.
@@@
Lapangan, jam 16 : 15….
“Baiklah, latihan hari ini cukup
sampai disini. Kalian semua sudah boleh pulang” Kata pelatih kami, mengakhiri
sesi latihan lari klub atletik.
“Iya, pak…” Koor para anggota klub.
Aku segera menuju keruang ganti
wanita dan melap wajah serta leherku yang penuh keringat. Sesekali kuteguk air
mineralku untuk mengurangi rasa gerah dan dahaga. Fuuh, hari ini lumayan panas.
Latihannya jadi lebih capek dari biasanya.
“Duluan ya, min…” Tegur temanku,
sesama anggota klub, yang hendak beranjak.
Aku hanya tersenyum. Sedikit demi
sedikit, para anggota lain pun mulai meninggalkan sekolah. Sedangkan aku, aku
masih harus membereskan buku-bukuku dikelas yang tadi belum sempat kubereskan.
Masih dengan memakai baju olahraga, aku beranjak dari ruang ganti dan menapaki
koridor. Suasana sekolah tampak lengang. Wajar saja, selain anggota klub
atletik dan karate, yang lainnya sudah pulang sejak dua jam yang lalu.
Begitu sampai dikelas, bergegas
kubereskan buku-bukuku. Aku pengen cepet pulang, pengen cepet mandi. Dengan
agak terburu-buru aku menuruni tangga yang menghubungkan lantai satu dan dua,
tapi tiba-tiba langkahku terhenti saat kudengar suara cekikikan dua orang cewek
diujung bawah tangga.
“Kamu kejam, deh…. Kasihan kan si
bahri…” Sahut sebuah suara yang tak kukenal.
“Salah sendiri dia terlalu nggak
tegaan sama cewek”
Ah! Ini kan suara angel….
“Lagipula, bahri kan kaya. Sekalian
aja, aku manfaatin
Apa?!
Aku benar-benar tak habis pikir, dengan
apa yang dikatakan Angel barusan. Apa maksudnya mengatakan hal seperti itu?!
“Tapi aku nggak benci angel,
walaupun dia banyak maunya, sih. Aku berusaha untuk sayang ma dia, kok…”
Tiba-tiba, perkataan bahri waktu itu
terngiang dibenakku. bahri… Padahal dia tahu kalau si Angel itu matre… Tapi,
bahri masih bisa bilang untuk berusaha menyayanginya. Kukatup mulutku
kuat-kuat, mencoba menahan emosi. Gerahamku saling beradu akibat gejolak yang
seketika meluap. Aku benar-benar tidak bisa menerima ucapannya itu! Kucengkram
tas selempangku. Dan…
“Dasar cewek brengsek!!” Teriakku
bersamaan dengan mendaratnya tasku kepunggung angel yang menimbulkan suara
‘Buk!’.
“Apa-apaan sih?!” angel refleks
menoleh sambil mengusap punggungnya. Temannya hanya bisa memandanginya dengan
bengong.
Kuturuni sisa tangga dengan
menatapnya penuh amarah. Ingin rasanya, menghajar perempuan itu habis-habisan!
“Heh! Kamu yang ngelempar aku, ya?!”
angel setengah membentak.
“Kamu bener-bener bajingan!!” Amarahku
naik ke ubun-ubun, “bahri sudah mau nerima kamu, tapi malah kamu manfaatin!”
“Lho, emang kenapa?? Dari awal, aku
emang cuma ngincar hartanya doang, kok. bahri juga bego, mau-maunya aku
manfaatin!” Ucap Angel, santai sambil memamerkan senyum sinis.
Aku membelalak semakin emosi, “Kamu
bener-bener brengsek!”
“Terserah kamu, mau ngatain aku apa.
Lagipula, apa hubungannya denganmu?? Toh, Bahri itu pacarku. Aku berhak untuk
memperlakukan dia kayak apapun”
“Aku berusaha untuk sayang ma dia,
kok…”
Kalimat itu terngiang lagi. Padahal bahri
sudah sangat baik terhadapnya, tapi kenapa dibalas sekejam ini?? Sekarang,
malah airmataku yang ingin menghambur keluar.
“Tapi….” Nada suaraku berubah sedih,
“Menyakiti orang sebaik bahri…. Itu… Itu benar-benar keterlaluan…”
“Cukup, Yasmin!” Bersamaan dengan
itu, sesuatu menutupi mataku yang mulai basah. Sebuah tangan. Tangan besar dan
hangat.
Perlahan kugenggam tangan itu dan
mengangkat wajahku.
“Bahri….” Mataku semakin
berkaca-kaca.
Bahri menatapku lembut dan
tersenyum. Lalu dia beralih memandang Angel yang kaget dengan kehadiran Bahri
yang tiba-tiba. Apa dia mendengar pembicaraan kami tadi??
“Angel… Dari awal aku udah tahu
kalau aku cuma dimanfaatin. Tapi aku diem aja…. Tapi, perkataanmu tadi
benar-benar kelewatan. Walaupun aku jadi pacarmu, kamu nggak punya hak untuk
seenaknya denganku!” Suaranya terdengar tegas.
“Bahri… Tadi itu, aku cuma….”
“Aku nggak mau denger omonganmu
lagi… Mulai sekarang, kita putus!” Setelah itu, Bahri menarik tanganku menuju
lantai dua, meninggalkan angel yang terpaku.
bahri terus menarikku sampai
akhirnya kami sampai keruang musik. Mataku yang tadinya hanya berkaca-kaca,
sekarang sudah penuh dengan linangan airmata. Pipiku terasa lembab. Setiap
bulir ini, tak kuasa kubendung. Terus mengalir begitu saja.
“Udah dong, yasmin, nangisnya….”
Suara bahri terdengar lembut menembus telingaku.
“Hiks… Hiks….” Aku masih
sesunggukan.
bahri bangkit dari duduknya dan
langsung memelukku. Tangannya yang besar, mengusap rambutku. Meski agak kaget
dengan perlakuannya itu, aku membiarkan saja tubuhku tenggelam dalam
dekapannya. Karna rasa yang diberikan olehnya begitu hangat dan nyaman.
Perlahan, membuatku merasa tenang.
“Udah tenang?” bahri melepas
pelukannya dan menatapku.
Aku hanya menggangguk pelan. bahri
kembali duduk dibangku dibalik piano. Dia lalu menautkan jari-jarinya dan
bertopang dagu.
“Hmmh… Aku kaget waktu denger
ribut-ribut dilantai satu. Kukira ada apa…” bahri tertawa kecil, “Cewek kalau
berantem ternyata ngeri juga, ya…..”
“Kamu…. Denger semuanya?? Bukannya
kamu, seharusnya latihan digedung olahraga???” Aku masih sedikit terisak sambil
mengusap sisa-sisa airmataku.
“Udah selesai, kok. Tadi pas kalian
ribut, aku lagi dikelas ngambil tas….”
Setelah itu, tiba-tiba atmosfer disekeliling
kami berubah sepi. Bahri yang tiba-tiba diam dan memandangiku dengan wajah
serius, membuatku jadi salah tingkah. Bingung ingin bersikap seperti apa.
“Ke, kenapa?”
Dia diam beberapa detik sebelum
kemudian membuka suara, “Sekarang, bisa kamu ceritakan alasan kenapa kamu sampai
nangis?? Benar kata Angel, kamu nggak ada hubungannya denganku….” Nada suaranya
datar.
Nggak ada hubungannya??! Kalimat itu menyakitiku.
“Harus jujur….”
Potongan kalimat Nita waktu itu
seolah menyindirku, sekaligus memberiku keberanian. Kuremas celana olahragaku,
mengumpulkan segala keberanian yang kupunya.
“Apanya yang nggak ada
hubungannya??” Sahutku lirih dengan wajah tertunduk.
“Bahri nggak pernah tahu…. Sejak SMP
aku…. Aku sudah menyukaimu….” Wajah dan tubuhku serasa berubah jadi jantung.
Semuanya berdebar mengiringi setiap kalimatku.
“Padahal, dulu aku sama sekali tak
mengenal Bahri…. Bahri juga sebelum ini tak mengenalku…. Tapi….” Perlahan,
kuangkat wajahku yang aku yakin merona seluruhnya, “Aku benar-benar
menyukaimu….”
Mendengar pengakuanku yang susah
payah itu, Bahri hanya memandangiku dengan mata besarnya yang bulat. Keteduhannya
selalu terlihat indah. Bahri tersenyum sekilas, kemudian memutar posisi
duduknya dan menaruh jari-jarinya diatas tuts piano.
Jari-jemari lentik Bahri yang mulai
menari, dengan lincahnya menekan setiap tuts memainkan ‘Love Song’. Aku hanya
bisa diam. Terpana sekaligus tak mengerti, apa maksudnya memainkan lagu ini
setelah aku menyatakan perasaanku. Dan beberapa menit kemudian, melodi indah
itu pun selesai mengalun. Lagu itu, masih saja berkabut.
“Kamu tahu makna lagu ini?” Tanya
Bahri tanpa mengalihkan pandangannya dari tuts.
Aku hanya menatapnya tanpa tahu
harus menjawab apa. Bukankah selama ini, aku yang selalu bertanya-tanya apa
makna ‘Love Song’?? Kenapa dia malah tanya padaku.
Bahri menghela nafas dan melanjutkan
kata-katanya…
“Lagu ini… Kubuat karna aku terpuruk
dengan keadaanku yang terlahir dari keluarga berada. Bukan berarti aku tidak
mensyukurinya, tapi itu membuat setiap orang yang mendekatiku, tak pernah tulus
denganku. Yang mereka inginkan hanya harta orang tuaku….”
Bahri mengangkat wajahnya, menatap
nanar langit-langit, “Wanita pun seperti itu. Mereka juga hanya mengejar
hartaku, bukan karna memang mencintaiku. Aku menderita, min…. Sampai akhirnya,
aku menyerah. Pasrah menerima cinta bullshit seperti itu” Lalu
Bahri kembali terdiam.
Tetap menatap kosong keatas sampai
akhirnya dia kembali memandangku. Ekspresi wajahnya waktu itu benar-benar
terlihat tak berdaya. Namun, bibirnya masih bisa menyunggingkan sebuah senyum
tipis.
“Sampai akhirnya, aku menemukan
gadis yang benar-benar mencintaiku apa adanya. Tapi, min, gadis itu membuatku
putus asa. Dia hanya berani memandangku dari jauh, tanpa berani menyapaku.
Bagaimana aku bisa mendekatinya, sedangkan dia selalu menjauhiku??”
Kurasa aku tahu siapa gadis yang
dimaksud Bahri.
“Aku terus menunggu, sampai dia
berani menghadapiku dan menyatakan cinta padaku. Tentu saja dengan memberi
sedikit pancingan….”
Jangan-jangan maksudnya pancingan
itu, waktu dia menolongku ditaman, ya?
Tiba-tiba, Bahri meraih tanganku dan
mendudukkanku dipangkuannya. Ya ampun…. Jarak wajah kami sangat dekat….
“Dan sekarang, kata-kata yang ingin
kudengar itu pun akhirnya sudah kudengar….” Senyum tipis diwajah Bahri berubah
menjadi lengkungan kebahagiaan yang sempurna, “Dan satu lagi, sejak kamu masuk
sekolah ini, aku sudah memperhatikanmu. Melihatmu yang sedang berlari
dilapangan, membuatku tak peduli dengan sekeliling. Karna diantara semua
pemandangan yang kulihat…. Sosokmulah yang paling mencolok bagiku….
Blush…
Mungkin kalau aku tidak tahan,
jantungku benar-benar bakal copot saking deg-degannya. Grogi tingkat dewa!!
“Love Song’ itu, sekarang juga
berubah, Min…. Bukan lagi, musik indah yang sedih” Bahri menyingkirkan poniku
yang agak menutupi wajahku, “Melainkan sebuah musik bernada bahagia yang
menegaskan… Bahwa aku mencintaimu….” Kata-kata itu terdengar sangat manis.
Bahri mendekatkan wajahku
kewajahnya, dan…
Chu!
Sebuah ciuman kilat mendarat
dibibirku. Bahri hanya menatapku sambil senyum-senyum nggak jelas setelah
mengambil ciuman pertamaku. Setelah mengerjap-ngerjapkan mataku dan berhasil
mencerna apa yang barusan terjadi, kupandangi wajahnya yang masih tersenyum.
Ah… Wajah itu sudah jadi milikku,
ya….
Ini bukan mimpi, kan???
Wajah tersenyum Bahri…. Benar-benar
manis….
Tanganku jadi gatal sebagai
konsekuensi dari menatap wajah babyface-nya itu. Aku pengen nyubit
pipinya….
Kalau sekarang…. Udah nggak apa-apa,
kan….??
Aku benar-benar tak tahan lagi!!
Kuraih pipi Bahri dan mencubitnya dengan lembut.
“Aku menyukaimu, aku menyukaimu, aku
menyukaimu!” Ucapku berulang-ulang sambil terus mencubitnya.
Lagi-lagi Bahri hanya tersenyum.
Tapi, kemudian dia menggenggam tanganku, melepaskan cubitanku dari pipinya
yang cubby.
Dan tanpa minta persetujuanku, Bahri
kembali menciumku. Aku pasrah. Kupejamkan mataku, merasakan setiap sensasi
hangat dari bibirnya. Lama-kelamaan, aku mulai bisa membalas ciumannya.
Mengimbangi gerakan bibirnya. Hari beranjak semakin sore, tapi aku tak peduli.
Karna aku… Ingin menikmati ciuman lembut ini… Lebih lama lagi….
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar